ISRAILLIYAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Studi
aL-Qur'an
Dosen
Pembimbing:
Prof. Dr. Kasuwi Saiban,M.Ag
Dr.
Abad Badruzzaman,Lc,M.Ag
DISUSUN:
SITI HUSNUL KHOTIMAH
NIM : 1755144028
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
PRODI ILMU PENDIDIKAN DASAR
ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
DESEMBER
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Umat Islam mempunyai
tuntunan dan pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari agar senantiasa mendapatkan
jalan keselamatan dan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Al-Qurân yang
menyatakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (Hudan li an-Nas) otomatis
sarat dengan berbagai macam ajaran. Di antara ajaran-ajarannya tertuang dalam
kisah-kisah agar manusia mengambil pelajaran, baik yang tersurat maupun yang
tersirat dalam ungkapan Al-quran.
Pengungkapan Al-Qurân
lebih bersifat global. Artinya, dalam mengungkapkan suatu peristiwa tertentu Al-Qurân
tidak merinci tempat kejadian, saat kejadian dan nama-nama tokoh yang terlibat
serta jalannya pristiwa seperti kitâb-kitâb terdahulu, yakni Taurat dan Injil
juga memuat kisah-kisah seperti Al-Qurân namun terdapat perbedaan, baik dari
segi pengungkapannya maupun gaya bahasanya.
Kaum muslimin
mengakui sepenuh hati bahwa Al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia. Namun
demikian diakui juga bahwa tidak semua kaum muslimin secara lagsung dapat
memahami Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Oleh karena itu, bantuan penafsiran
dan penakwilan terhadap Al-Quran sangat dibutuhkan. Disini nampaklah peran
mufassirin untuk memberikan penafsiran-penafsiran agar Al-Quran dapat dipahami
dan diamalkan sebagai petunjuk hidup yang aplikatif bagi manusia.
Pendekatan yang
digunakan dalam penafsiran Al-Quran ada dua, yaitu at-tafsiru bi al-ma’sur dan
at tafsiru bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’sur terdiri dari tiga macam, yaitu
Tafsir Al-Quran bi Al-Quran , Tafsir Al-Quran bi as-sunnah, dan tafsir Al-Quran
bi atsar al-shabi. Sedangkan tafsir bi ar ra’yi dalam penafsiran Al-Quran dengan
menggunakan akal atau ijtihad. Masing-masing memiliki pendekatan memiliki
kelemahan dan kelebihan. Salah satu kelemahan yang dimiliki tafsir yang
menggunakan pendekatan al ma‟sur adalah masukknya
unsur unsur Isra>iliyya>t didalamnya.
Term Isra>iliyya>t
dalam tafsir Al-Quran erat sekali
hubungannya dengan masyarakat Arab jahiliyyah. Diantara penduduk arab itu
terdapat masyarakat. yahudi yang pertama memasuki jazirah arab karena adanya
desakan dan siksaan dari Titus, Seorang panglima Romawi, Sekitar tahun 70
Masehi. Hingga saat ini sebagian dari umat muslim belum banyak mengetahui dan
memahami, apa pengertian dan relevansi Isra>iliyya>t terhadap Al-Quran . Hal inilah yang membuat
kami, terinspirasi untuk membuat makalah yang berjudul Isra>iliyya>t ,
Selain itu, makalah ini merupakan tugas dalam mata kuliah studi al-Quran.
B. Rumusan Masalah
- Apakah pengertian dan historis Isra>iliyya>t ?
- Apa saja kategori Isra>iliyya>t ?
- Bagaimana dampak Isra>iliyya>t terhadap kesucian ajaran Islam?
- Bagaimana cara penyusupan Isra>iliyya>t ke Dalam Tafsir?
- Bagaimana hukum periwayatan Isra>iliyya>t ?
- Bagaimana Israliyyat dalam Kitâb-kitâb Tafsir?
- Ada berapa sebab-sebab penggunaan Isra>iliyya>t ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian dan historis Isra>iliyya>t ;
2. Untuk
mengetahui kategori Isra>iliyya>t;
3. Untuk
mengetahui dampaknya terhadap kesucian agama islam;
4. Untuk
mengetahui cara penyusupan
Isra>iliyya>t ke Dalam Tafsir;
5. Untuk
mengetahui hukum periwayatan Isra>iliyya>t;
6. Untuk
mengetahui tentang Isra>iliyya>t dalam kitâb-kitâb tafsir ;
7. Untuk
mengetahui tentang sebab-sebab penggunaan Isra>iliyya>t ;
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Historis Isra>iliyya>t
Secara etimologis Kata Isra>iliyya>t merupakan
bentuk jamak dari kata Israiliyyah; nama yang dinisbahkan kepada kata Israil
(Bahasa Ibrani) yang berarti ‘Abdullâh (Hamba Allâh).[1] Dalam pengertian lain Isra>iliyya>t
dinisbatkan kepada Nabi Ya’kub bin
Ishaq bin Ibrahim. Terkadang Isra>iliyya>t identik dengan yahudi kendati sebenarnya tidak
demikian. Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi
merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama dan dogma.
Secara terminologis,
kata Isra>iliyya>t , kendati pada mulanya hanya menunjukkan riwayat yang
bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya, para ulama tafsir dan Hadits
menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang lebih luas lagi. Oleh karena
itu, ada ulama yang mendefinisikan Isra>iliyya>t yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal
yang berhubungan dengan tafsir maupun Hadits berupa cerita atau dongeng-dongeng
kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau
lainnya.[2] Di katakan juga bahwa Isra>iliyya>t
termasuk dongeng yang sengaja
diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan Hadits yang sama
sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut
sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslimin.
Versi lain mengatakan bahwa Isra>iliyyat adalah kata 'Ajam; bahasa yang bukan
asli bahasa Arab, sehingga ketika ditulis bersama dengan bahasa Arab lainnya
tidak mempunyai arti, tetapi hanya sebagai salah satu istiulah yang masuk dan
diserap ke dalam bahasa Arab..[3]
Namun yang paling popular
dari semua hal itu, Israil adalah gelar Nabi Ya'qub AS. Dengan demikian, Isra>iliyya>t
(Bani Israil) adalah keturunan Israil atau Nabi Ya'qub AS. Hal ini tersirat
dari riwayat Abu Da>wu>d al-T}aya>li>si dari Ibn 'Abba>s.
Sebagaimana pendapat Ahmad
Khali>l Arsya>d, Isra>iliyya>t adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahl
al-Kita>b, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak.[4] Dalam pendapat lain dikatakan bahwa agama
merupakan pembauran kisah-kisah dari agama dan kepercayaan non-Islam yang masuk
ke Jazirah Arab Islam yang dibawa oleh orang-orang Yahudi yang semenjak lama
berkelana ke arah timur menuju Babilonia dan sekitarnya, sedangkan Barat menuju
Mesir. Setelah berita (akhba>r) keagamaan yang mereka jumpai dari
negera-negara yang mereka singgahi. Di antara cerita-cerita yang termasuk Isra>iliyya>t
itu kisah Gharaniqah, kisah Zainab binti
Jahsy, cerita kapal Nabi Nuh, warna anjing As}hab al-Kahfi, makanan yang
diberikan kepada Maryam. Dajjal dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa
sebelum kedatangan agama Islam, ada satu golongan yang disebut dengan kaum
Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi
dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan
keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari kitâb suci mereka.[5]
Problema kehidupan
mereka pada saat itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak di antara
mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi kurang lebih pada
tahun 70 M. Pada masa inilah diperkirakan terjadinya perkembangan besar-besaran
kisah-kisah israiliyyah, kemudian mengalami kemajuan pada taraf tertentu.
Disadari atau tidak, terjadilah proses percampuran antara tradisi bangsa Arab
dengan khazanah tradisi Yahudi tersebut.[6] Dengan kata lain, adanya kisah
Isra>iliyya>t merupakan
konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara
bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[7]
B. Kategori
Isra>iliyya>t
Dari segi
kandungannya, secara garis besar kisah Isra>iliyya>t terbagi menjadi tiga kategori. Pertama,
kisah Isra>iliyya>t yang benar
isinya, sesuainya dengan Al-Qurân dan Hadits dan tidak bertentangan dengan
keduanya. Kedua, kisah Isra>iliyya>t yang bertetangan dengan Al-Qurân dan Hadits.
Ini harus dijauhi dan tidak boleh diriwayatkan kecuali disertai dengan
penjelasan mengenai kedustaannya. Ketiga, kisah Isra>iliyya>t yang tidak diketahui benar tidaknya. Yang
demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan keberadaannya, sesuai dengan Hadits
Nabi dari Abu Hurairah.
C. Dampak
Isra>iliyya>t Terhadap Kesucian
Ajaran Islam
Adz Dzahabi
berpendapat jika Isra>iliyya>t itu
masuk dalam khazanah tafsir al-Quran, ia dapat menimbulkan dampak negatif
sebagai berikut. Pertama, Isra>iliyya>t akan merusak aqidah kaum
Muslimin, karena ia antara lain mengandung unsur penyerupaan pada Allâh,
peniadaan is}mah para Nabi dan Rasul dari dosa karena mengandung tuduhan
perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, apalagi sebagai Nabi. Kedua
merusak citra agama Islam karena ia mengandung gambaran seolah-olah Islam
agama penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ketiga,
ia menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf, baik dari kalangan sahabat
maupun tabi’in. keempat, ia dapat memalingkan manusia dari maksud dan
tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.
D. Penyusupan Isra>iliyya>t ke Dalam Tafsir
Jauh sebelum Islam
datang, Isra>iliyya>t sudah mulai
memasuki ke budayaan Arab (pada masa jahiliyyah), karena di tengah-tengah
mereka orang-orang Ahl al-Kitâb Yahudi telah lama hidup berdampingan. Adanya
kisah Isra>iliyya>t ini merupakan
konsekuensi logis dari akuluturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa
Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.
Di samping itu harus
diakui bahwa masyaraka Madinah dan sekitarnya – tempat Islam berkembang –
termasuk masyarakat yang heterogen, dengan Yahudi dan Arab sebagai etnis yang
paling dominan. Mereka yang masuk Islam dari kaum Yahudi (suku Bani Qainuqa,
suku Quraizah, suku al-Nazir, suku Khaibar, suku Taima dan suku Fadak) dan
Nasrani serta Majusi masih tetap membawa kesan-kesan kepercayaan agama mereka
dahulu, sehingga dalam memahami Islam tidak jarang mereka menggunakan kacamata
pemahaman mereka dahulu. Di samping itu, bangsa Arab sendiri tidak banyak
mengetahui perihal kitâb-kitâb terdahulu, sehingga ketika mereka ingin
mengetahui tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian penting dan sebagainya,
mereka harus bertanya Ahl al-Kitâb dari kalangan Yahudi Nasrani.[8] Momen inilah yang merupakan pangkal
merembesnya paham-paham isirailiyyat ke dalam Islam.
Ilmu-ilmu seperti
dialektika dan kalam (teologi) banyak dipengaruhi juga oleh Isra>iliyya>t.
Ibn Atsir dalam Taari>kh-nya mengabadikan bahwa faham khalq Al-Qur'ân
yang dicemaskan kaum Mu’tazilah berasal dari Bisyr al-Marisiy. Ia mengambil
faham itu dari Jahm ibn Shafwan, Jahm mengadopsinya dari Ja’ad ibn Dirham, Ja’ad
menermimanya dari Abab ibn Sam’an.
Jadi penyusunan Isra>iliyya>t
ke dalam tafsir dapat dikatakan melalui
periode periwayatan dan pengkodifikasinnya. Pada masa periwayatan dari pada
para sahabat dan taib’in tidak terdapat kejanggalan kaerna sahabat mendapatkan
tafsir langsung dari Nabi. Bila timbul persoalan, maka Rasul sendiri yang akan
memberikan jawaban dan solusinya, baik melalui turun wahyu maupun melalui sabda-sabda
yang disampaikannya.
Adapun di masa
tabi’in, untuk memercahkan masalah yang dihadapi dalam bidang keagamaan
mendapatkan informasi dari para sahabat melalui periwayatan dan menjadi
murid-murid para sahabat dalam didikan yang diperolehnya. Namun perseoalannya,
tidak semua yang diriwayatkan tabi’in ini berasal sari Rasul Allâh, melainkan
ada yang mauquf di sahabat dan tabi’in. Di zaman tabi’in inilah mulai muncul
pemalsuan dan kebohongan terhadap Hadits dan tafsir.
Penyusupan Isra>iliyya>t
ini pada awalnya dikarenakan darurat,
betapa pun pada masa sahabat. Mereka membaca Al-Qur'a>n yang berisi
kisah-kisah, karena isinya hanya ringkas-ringkas
saja sehingga diperlukan penjelasan terperinci dan tidak didapatkannya dari
Rasululah.
Zaman berikutnya
muncul periode kodifikasi tafsir dan Hadits, maka secara tidak disadari Isra>iliyya>t
masuk ke dalamnya sampai tercampur aduk
dan tidak diketahui lagi otentitas riwayat, mana yang datang dari Nabi dan mana
yang datang dari Ahl al-Kitâb. Untuk mengatasi persoalan itu, para tabi’in
menetapkan musnad, dhaba>ith dan sistem adalah para perawi,
sebagai dijelaskan al-Imam Muslim dalam Mukadimahnya.
لم يكونوا يسالون عن السناد فلما وقعت
الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم
Artinya:
“Mereka dahulu
belum mempertanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya peristiwa fitnah,
mereka berpendapat: “Namailah untuk kepentingan kita para tokoh kalian” [9]
E. Hukum Periwayatan Isra>iliyya>t
Dan segi
kandungannya, secara garis, Isra>iliyya>t terbagi menjadi tiga bagian, Pertama, kisah
Isra>iliyya>t yang benar isinya,
sesuai dengan Al-Qur'ân dan Hadits. Kedua, kisah Isra>iliyya>t yang bertentangan dengan Al-Qur'ân dan Hadits.
Ketiga, kisah Isra>iliyya>t yang tidak diketahui benar tidaknya.
Dan ketiga kategori
kisah-kisah israillyat itu, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa cerita Isra>iliyya>t
yang shahih boleh diterima; cerita yang
dusta harus ditolak; dan yang tidak diketahui kebenaran dan kedusataannya
didiamkan; tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan; jangan mengimaninya dan
jangan pula membohonginya.
Al-Biqa>’I
berpendapat bahwa hukum mengutip riwayat dari Bani Israil yang tidak dibenarkan
dan tidak didustakan oleh kitâb Al-Qur'ân dibolehkan, demikian pula dari
pemeluk agama lain, karena tujuannya di bolehkan, demikian pula dari pemeluk
agama lain, karena tujuannya hanyalah ingin mengetahui semata, bukan untuk
dijadikan pegangan. Sedangkan menurut Jumhur, Isra>iliyya>t , sepanjang
tidak bertentangan dengan Al-Qur'ân dan Hadits dapat diterima dan menolak Isra>iliyya>t
yang bertentangan dengan keduanya.
Adapun Isra>iliyya>t yang tidak
diketahui benar tidaknya, bersifat tawaqquf. Hal ini didasarkan kepada Hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.
لَاتُصَدِّقُوْا اَهْلَ اْلكِتَابِ
وَلاَ تُكَذِّبُوْاهُمْ وَقُوْلُوْا اَمَنَّا بِاللهِ وَمَااُنْزِلَ اِلَيْنَا
وَمَا اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ
Artinya:
“Janganlah kamu
sekalian membenarkan Ahl al-Kita>b dan jangan pula mendustakannya:
ucapkanlah: “Kami beriman kepada Allâh dan kepada kitâb yang di turunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu”
F. Israliyyat
dalam Kitâb-kitâb Tafsir
Ada beberapa kitâb
tafsir Al-Qur'ân yang diduga keras banyak mengambil cerita-cerita Isra>iliyya>t
.
1.
Jâ>mi’
al-baya>n fi tafsi>r al-Qur'a>n
Tafsir
ini disusun oleh Ibn Jarir al-Thaba>riy (224-310 H), seorang yang terkenal
dalam bidang fiqh dan Hadits, di samping ahli tafsir. Kitâb tafsir ini termasuk
di antara sekian banyak tafsir yang terpopuler dan menjadi referensi dalam tafsir
bi al-ma’tsu>r terdiri dari 30 Juz yang masing-masing berjilid tebal.
Menurut al-Dzaha>bi, tafsir karya al-Thaba>ri ini merupakan tafsir
pertama di antara tafsir-tafsir awal yang pertama pada masa dan ilmunya.
2.
Tafsi>r
muqa>til
Tafsi>r ini di
susun oleh Muqa>til bin Sulaima>n (w. 150 H), seorang yang ahli dalam
bidang tafsir. Ia juga banyak mengambil Hadits dari tabi’in terkenal, seperti
Mujahid ibn Jabbar, Atha Ibn Rabbah, Dhahak ibn Mazhahiru dan “Athiyah ibn
Sa’id al-Awfi. Namun, menurut sebagian pendapat, ia tidak mengambil Hadits dari
ad-Dhahak, karena Dhahak meninggal 4 tahun sebelum Muqatil meninggal.
3.
Tafsi>r
al-Kasyâf wa al-Bayân
Penulis tafsir ini
Ahmad ibn Ibrahim al-Tsa’labi al-Naisaburiy. Panggilannya Abu Ishaq yang wafat
tahun 427 H Ia menafsirkan Al-Qur'ân berdasarkan Hadits yang bersumber dari
ulama Salaf. Sayangnya, dalam menukil sanad-sanad Hadits, ia tidak
mencantumkannya secara lengkap. Tafsir ini sedikit membahas nahwu dan fiqh;
karena ia seorang pemberi nasehat, maka ia senang terhadap kisah-kisah. Oleh
karena itu. Dalam kitâb tafsirnya ini banyak cerita-cerita Isra>iliyya>t yang janggal dan cenderung menyimpang dari
kebenaran.
4.
Tafsi>r
ma’âlim al-Tanziil
Tafsir ini ditulis
oleh Syaikh Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawiy, seorang
ahli tafsir dan Hadits serta berfaham Syafi’i. tafsirnya lebih ringkas kendati
banyak berisi cerita Isra>iliyya>t . Namun, secara umum, tafsir ini lebih
baik dan lebih murni ketimbang kebanyakan tafsir-tafsir bi al-ma’tsur.
5.
Tafsiir
lubâb al-ta’wiil fi ma’âniy al-tanziil
'Ala'
al din al hasan, Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Amr ibn Khalîl al-Syaibaiy (678-741 H) dikenal penulis dari
tafsir al-Lubab ini. Sebagai seorang sufi yang senang memberi nasehat,
maka tidak heran jika senang bercerita. Ia juga dikenal sebagai khazin (penjaga kitâb-kitâb Samisatiyah) di
Damaskus, sehingga bacaannya akan kitâb-kitâb tersebut mempengaruhi tulisan
tafsirnya.
6.
Tafsi>r
Al-Qur'a>n al-Azhi>m
Tasfir ini populer
dengan sebutan tasir Ibn Katsir, nama tafsir yang dinisbatkan kepada
pengarangnya, yaitu Ibn Katsi>r; nama lengkapnya Hâfizh Imad al-Din Abu
al-Fida Ismâ’il Ibn Katsur Ibn Dhaw ibn Zar ‘a al-Bishri al-Dimasyqiy. Ia
seorang tekenal ahli fiqh, ahli Hadits dan ahli tafsir penganut madzhab al-Safi’i.[10]
G. Sebab-sebab
Penggunaan Isra>iliyya>t
Sebenarnya cara
merembesnya cerita-cerita Isra>iliyya>t ke dalam tafsir dan Hadits didahului oleh
masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyyah. Pada waktu itu hidup di
tengah-tengah orang Arab segolongan Ahli Kitâb, yaitu kaum Yahudi yang pindah
ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjadi secara besar-besaran pada
tahun 70 M. Mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus (Lihat Kitâb
Al-Yahudi fi Biladil Arab, oleh Israil Alfansi, hal. 9; dan Al-Arab
Qablal Islam oleh Jawat Ali, Jilid 6 hal. 24; serta Banu Israil min
Asfarihim oleh Muhammad Izzat Darwazah.
Tafsir dan Hadits,
keduanya sangat terpengaruh oleh kebudayaan Ahli Kitâb yang berisikan
cerita-cerita palsu dan bohong. Isra>iliyya>t juga mempunyai pengaruh yang buruk ia diterima
oleh masyarakat umum dengan kecintaanyang jelas. Ia dituliskan pula oleh
sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala ia sampai pada keadaan
diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua merupakan
hal yang akan merusak akidah sebagian besar kaum Muslimin, serta menjadikan
Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh khurafat dan
hal-hal yang tidak masuk akal.
Menyusupnya cerita Isra>iliyya>t ke dalam tafsir dan Hadits secara meluas itu
karena telah diketahui oleh para ulama, bahwa tafsir dan Hadits itu memilki dua
periode yang berbeda. Pertama, periode periwayatan, dan kedua, periode
pembukuan.
1.
Periode
Periwayatan tafsir
Rasulullâh bergaul
dengan para sahabatnya dan memberi penjelasan kepada mereka tentang urusan
agama dan dunia dianggap penting oleh mereka atau dianggap penting oleh Nabi.
Penjelasan Nabi itu mencakup juga tafsir-tafsir ayat Quran yang dianggap masih
samar oleh para sahabatnya.
Para sahabat,
memperhatikan dan menghafal penjelasan Nabi tersebut, kemudian mereka
menyampaikannya kepada saudara-saudaranya yang tidak hadir dalam majelis Nabi
dan juga kepada murid-muridnya sampai kepada tabi’in. para tabi’in meriwayatkan
apa yang mereka terima dari pada sahabat kepada tabi’in lainnya, dan juga
mereka menyampaikan kepada para muridnya sampai generasi tabi’it-tabi’in.
Pada periode tabi’in
banyak Hadits-Hadits palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada
Rasulullâh tersebar, (dianggap dari Rasul, padahal bukan, pent). Dan karena itu
mereka tidak menerima suatu Hadits, kecuali apabila Hadits itu Hadits musnad dan yakin
akan keadilan perawinya dan kekuatan hafalannya.
2.
Periode
pembukuan tafsir
Periode ini dimulai
pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah. Awal dari pembukaan
tafsir dan Hadits adalah satu, ketika Umar bin Abdul Aziz, memerintahkan semua
ulama di seluruh dunia untuk mengumpulkan Hadits-Hadits rasul yang menurut
anggapan mereka sama. Para ulama tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh. Di
antara mereka ada yang berkeliling ke negara-negara yang berbeda untuk
mengumpulkan Hadits Rasulullâh. Termasuk ke dalam tugas lingkup ini, segala
yang berpengaruh
terhadap tafsir dan segala keterangan dari para sahabat dan tabi’in. apa yang
mereka kumpulkan tersebut kemudian dibukukan menjadi bermacam-macam bab yang
bervariasi, dan tafsir merupakan salah satu bab dari bab-bab tersebut.
Jadi, jelaslah dari
apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tafsir
Hadits sudah melekat pada keduanya, dua periode yang sangat jelas, yaitu
periode periwayatan dan periode pembukuan. Hanya saja tafsir bil-Mansur tidak
bisa dilepaskan keadaanya dari Hadits.
2. Semua
faktor yang melemahkan pada kedua periode itu yang menimpa tafsir pada
hakikatnya menimpa Hadits pula.
3. Segala
cerita-cerita yang bohong dan batil yang tercampur dengan tafsir, juga terjadi
pada Hadits, orang-orang yang mempunyai maksud buruk dan jahat membuat Hadits-Hadits
yang dinisbahkan kepada Rasulullâh. Banyak di antara Hadits tersebut yang
dinisbahkan kepada
tafsir, dijadikan landasan dan pegangan oleh orang-orang yang tersesat dan
tertipu.
Sesungguhnya bahaya
cerita-cerita Isra>iliyya>t, sebagaimana telah kita kemukakan di atas,
telah menyusup
ke dalam tafsir dan Hadits secara berangsung-angsur melalui periwayatan dan
pembukuan.
3.
Periode
periwayatan Hadits
Pada periode ini
cerita Isra>iliyya>t merembes ke dalam tafsir dan Hadits atau dalam waktu
yang sama secara berbarengan. Hal ini terjadi karena pada mulanya tafsir dan Hadits
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masalah ini terjadi pada
zaman sahabat. Mereka membaca Quran yang di dalamnya terdapat kisah-kisah dan
berita-berita. Mereka melihat, bahwa Quran menceritakan kisah tersebut hanyalah
dalam batas nasihat dan ibarah. Apa yang terperinci mereka satukan, dan apa
yang global mereka uraikan sesuai dengan pengetahuan mereka. Hal ini terjadi,
dalam kondisi mereka berdekatan dengan para ahli kitâb, dan juga masuk ke dalam
Islam sekelompok orang dari mereka.
4.
Periode
pembukaan Hadits
Pada periode ini,
sebagaimana telah kita ketahui, Hadits dibukukan dengan bantuan ilmu lain yang
bermacam-macam, dan tafsir pun termasuk salah satu bagian daripadanya. Pada
mulanya riwyat Mansur itu dikemukakan dengan terang sanad-sanadnya. Secara umum
tafsir pada masa ini bersih dari cerita-cerita Isra>iliyya>t , kecuali
sedikit saja, itu pun tidak bertentangan dengan nas syar’i. sbagian dari cerita
tersebut ada yang diriwayatkan dari Rasulullâh melalui riwayat yang shahih,
seperti Hadits-Hadits tentang Bani Israil yang terdapat dalam Shahih Bukhari
mau pun kitâb-kitâb Hadits senada lainnya.
H. Analisis
Kitab tafsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Syaikh Ibnu Katsir telah
menjadi rujukan penting para pengkaji ilmu al-Qur’an hingga saat ini.
Kekuatannya terletak pada penjelasannya yang dilengkapi dengan hadis-hadis dan
riwayat-riwayat yang masyhur. Ia sangat ketat menyeleksi riwayat-riwayat
yang diragukan kesahihannya.
Kota Damaskus pada waktu itu menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan.
Kota ini menjadi pusat perhatian para pencari ilmu dan ulama. Banyak sekali
ulama’ yang memiliki otoritas tinggi yang mengajar di kota Damaskus. Di sinilah
Ibnu Katsir mendalami ilmu agama. Saudara laki-lakinya, Abdul Wahab, setia
mendampingi Ibnu Katsir belajar. Ia sudah seperti ayahnya sendiri, menghidupi
dan mengajari. Abdul Wahab merupakan guru pertamanya Ibnu Katsir, sebelum Ibnu
Katsir belajar ilmu agama kepada para Syaikh.
Para murid dan ulama’ Damaskus mengenal Ibnu Katsir sebagai ilmuan yang
memiliki kelebihan menghafal dengan kuat. Salah satu muridnya, Ibnu Hijjiy
mengatakan : “Ibnu Katsir adalah orang yang paling kuat hafalan hadisnya yang
saya kenal. Paling tahu tentang ilmu Jarh wa Ta’dil dan kesahihan sebuah hadis”.
Hal senada juga disampaikan
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah
seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan perawinya,
ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab,
dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak
dari karya-karyanya.
Ia juga terkenal ahli mengungkapkan dan mengolah berbagai macam
materi dari sejumlah teks menjadi buah karya yang orisinil. Teks-teks kitab
dari berbagai macam ilmu ia hafal di luar kepala. Kemudia dituangkan dalam
bentuk tulisan, bukan sekedar memindah tapi mengolahknya menjadi karya yang
berbobot, dan memiliki kekhasan.
Ilmu yang menjadi perhatian adalah tafsir dan hadis. Ia dikenal sangat
hati-hati mengeluarkan hadis. Sehingga kitab hadisnya unggul di bidang kekuatan
hadisnya. menghindarkan pengulangan, memperbaiki penjelasan, menjauhkan
hadis-hadis dhaif (lemah) dan maudhu’, serta menghapus kisah-kisah Israiliyat
(bersumber dari Yahudi dan diragukan kebenarannya). Di samping itu, juga
membersihkan konsep-konsep yang berbau khurafat, menjelaskan pembahasan
sekaligus tujuannya melalui beberapa ulasan yang menonjolkan akidah. Karena itu
Tafsir Ibnu Katsir disebut-sebut sebagai yang terbaik di antara tafsir yang ada
pada zaman ini.
Berkaitan dengan masalah
israiliyyat yang terdapat pada al-Qur’an dan al-Hadits Ibnu Katsir
mengingatkan agar hati-hati menggunakan kisah israiliyyat dan riwayat-riwayat
lemah dalam menafsirkan al-Qur’an. Kadang beliau juga menngutip kisah yang
tidak bermasalah karena sudah masuk dalam riwayat-riwayat Islam. Dan beliau
juga menjelaskan tentang israiliyyat yang tidak bisa dipercaya. Kehati-hatian
menerima riwayat ini karena beliau memang pakar hadis yang cukup selektif. Ilmu
ini ia peroleh dari gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ia belajar kepada
Ibnu Taimiyah bersama Ibnu Qoyyim dan al-Dzahabi.
Karakter lainnya dari Tafsir Ibnu Katsir adalah tafsirnya juga dilengkapi
penjelasan hukum-hukum fikih dengan menyebut dalil para ulama’, mendasarkan
kepada kaidah bahasa Arab dan Syair, menyebutkan pemikiran tokoh-tokoh ahli
hadis dan ahli-ahli lainnya.
I. Aktualisasi Materi Israiliyyat dalam Pendidikan
Perlu diketahui bahwa kisah-kisah Isra>iliyya>t terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, yang
sesuai dengan syariat kita. Kedua, yang bertentangan dengan syariat dan ketiga
yang didiamkan (maksud anhu), yakni tidak terdapat di dalam yang menyatakan
tidak ada manfaatnya. Adapun Jika dilihat dari sudut sahih dan tidaknya, kisah
Isra>iliyya>t terbagi pada kisah
yang sahih dan kisah yang dhaif (termasuk dhaif yang maudhu>’).
Implementasi dari kisah-kisah
Israiliyyat dalam dunia pendidikan islam terutama dalam lembaga pendidikan
dasar Islam. Tentunya dari analisis diatas dapat menjadikan cerminan terhadap
kita sebagai kaum terpelajar(baca: intelektual) diarahkan untuk lebih
berhati-hati dalam memanfaatkan materi ajar kepada peserta didik terkait
riwayat kisah-kisah israiliyyat yang masuk dalam tafsir al-Qur’an maupun
Hadits. Karena didalam kisah-kisah tersebut banyak mengandung riwayat-riwayat
lemah yang perlu mendapatkan penelitian terlebih dahulu. Begitu pula tidak
menutup kemungkinan sebagian daripada kisah-kisah israiliyyat juga ada yang
valid/shahih. Maka dari itu, selektifitas sebelum pemanfaatan sangat ditekankan
guna menyelamatkan generasi-generasi Islam dari kisah-kisah palsu yang
digulirkan oleh kaum yahudi melalui penyusupannya dalam menafsirkan al-Qur;an
dan hadits.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari
uraian terdahulu dapat di tarik kesimpulan:
Pertama, kisah Isra>iliyya>t adalah kisah-kisah yang sebagian besar
bersumber dari orang-orang Yahudi baik disadari atau tidak, yang telah menyusup
kedalam khazanah Tafsir Al-Qurân dan Hadits
Kedua latar belakang timbulnya Isra>iliyya>t adalah semakin banyaknya orang-orang Yahudi
atau ahli kitâb yang masuk Islam, adanya keinginan sebagian dari kaum muslimin
untuk mengetahui ihwal orang-orang yahudi yang mempunyai peradaban tinggi di
banding kaum muslimin di jazirah arab pada watku itu.
Ketiga Isra>iliyya>t mempunyai dampak negatif terhadap penafsiran al-Qur'ân
ia dapat merusak citra agama islam, merusak aqidah muslim dan memalingkan kaum
muslimin dari ajaran al-Qur'ân dan sunnah.
B. Penutup
Demikianlah makalah yang
dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua
khususnya bagi pembacanya. Tidak lupa kritik dan saran sangat kami nantikan
guna perbaikan selanjutnya. Dan terdapatnya kesalahan dalam penulisan dan
penyampaian karena lemah dan kurangnya pengetahuan kami, dan apabila ada kebenaran
semata-mata hanya dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abd Allâh Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami
li Ahkam Al-quran, jilid I Kairo, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, t.t.
Ahmad Khalîl Arsyad, Dirash fi Al-Qur'ân, Mesir,
Dar al-Ma’arif, 1972.
Ahmad, Syadali, Ahmad
Rafi’i, Ulumul Quran I, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997.
Al-Imam Muslim, Shahih
Muslim, Jilid I Delhi, Al-Amriyyah, t.t.
Amin Al-Khuli, Manhajut
Tajaad fit Tafsir, Kairo, Darul Ma’arif, 1961.
Ignaz Goldziher, Madzahib
at-Tafsir Al-Islami, Kairo, As Sunnah Al-Muhammadiyah, 1995.
M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran, Bandung, MIzan, 1995.
Manna ‘Khalîl
Al-Qaththân , Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta, Litera Antar Nusa,
1996.
Muhammad Abu Syubbah,
al-Isra>iliyya>t wa al-Mawdhu
at fii Kutub al-Tafsir, Kairo, Maktabah al-Sunnah, 1408.
Muhammad Chirzin, Al-Qurân
dan Ulumul Quran, Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa, 1998.
Muhammad Husein
al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, Mesir,
al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962.
Supiana dan M.
Karman,, Ulum Quran, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.
[1] Muhammad
Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, (Mesir:
al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962), 14.
[2] Muhammad
Husein al-Dzahabi.
Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-hadits, cet.IV.(Kairo Maktabah Wahhab,tt), 13.
[3]Abu Abd Allâh Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami
li Ahkam Al-quran, jilid I (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, tp), 331.
[5] Manna’ Khalil Al-Qattan,
Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemah Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar
Nusa, 1996), 42.
[8] Muhammad Abu Syubbah, al-Isrâiliyyat
wa al-Mawdhu' at fil Kutub al-Tafsir,
(Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408), 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar