Rabu, 01 April 2015

makalah ISRAILIYAT




ISRAILLIYAT
 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi aL-Qur'an

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Kasuwi Saiban,M.Ag
Dr. Abad Badruzzaman,Lc,M.Ag









DISUSUN:
SITI HUSNUL KHOTIMAH
NIM : 1755144028

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
PRODI ILMU PENDIDIKAN DASAR ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
DESEMBER 2014




 
BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Umat Islam mempunyai tuntunan dan pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari-hari agar senantiasa mendapatkan jalan keselamatan dan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Al-Qurân yang menyatakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (Hudan li an-Nas) otomatis sarat dengan berbagai macam ajaran. Di antara ajaran-ajarannya tertuang dalam kisah-kisah agar manusia mengambil pelajaran, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam ungkapan Al-quran.
Pengungkapan Al-Qurân lebih bersifat global. Artinya, dalam mengungkapkan suatu peristiwa tertentu Al-Qurân tidak merinci tempat kejadian, saat kejadian dan nama-nama tokoh yang terlibat serta jalannya pristiwa seperti kitâb-kitâb terdahulu, yakni Taurat dan Injil juga memuat kisah-kisah seperti Al-Qurân namun terdapat perbedaan, baik dari segi pengungkapannya maupun gaya bahasanya.
Kaum muslimin mengakui sepenuh hati bahwa Al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia. Namun demikian diakui juga bahwa tidak semua kaum muslimin secara lagsung dapat memahami Al-Quran sebagai petunjuk hidup. Oleh karena itu, bantuan penafsiran dan penakwilan terhadap Al-Quran sangat dibutuhkan. Disini nampaklah peran mufassirin untuk memberikan penafsiran-penafsiran agar Al-Quran dapat dipahami dan diamalkan sebagai petunjuk hidup yang aplikatif bagi manusia.
Pendekatan yang digunakan dalam penafsiran Al-Quran ada dua, yaitu at-tafsiru bi al-ma’sur dan at tafsiru bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’sur terdiri dari tiga macam, yaitu Tafsir Al-Quran bi Al-Quran , Tafsir Al-Quran bi as-sunnah, dan tafsir Al-Quran bi atsar al-shabi. Sedangkan tafsir bi ar ra’yi dalam penafsiran Al-Quran dengan menggunakan akal atau ijtihad. Masing-masing memiliki pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan. Salah satu kelemahan yang dimiliki tafsir yang menggunakan pendekatan al masur adalah masukknya unsur unsur Isra>iliyya>t  didalamnya.
Term Isra>iliyya>t  dalam tafsir Al-Quran erat sekali hubungannya dengan masyarakat Arab jahiliyyah. Diantara penduduk arab itu terdapat masyarakat. yahudi yang pertama memasuki jazirah arab karena adanya desakan dan siksaan dari Titus, Seorang panglima Romawi, Sekitar tahun 70 Masehi. Hingga saat ini sebagian dari umat muslim belum banyak mengetahui dan memahami, apa pengertian dan relevansi Isra>iliyya>t  terhadap Al-Quran . Hal inilah yang membuat kami, terinspirasi untuk membuat makalah yang berjudul Isra>iliyya>t , Selain itu, makalah ini merupakan tugas dalam mata kuliah studi al-Quran.

B. Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian dan historis Isra>iliyya>t  ?
  2. Apa saja kategori Isra>iliyya>t ?
  3. Bagaimana dampak Isra>iliyya>t  terhadap kesucian ajaran Islam?
  4. Bagaimana cara penyusupan Isra>iliyya>t  ke Dalam Tafsir?
  5. Bagaimana hukum periwayatan Isra>iliyya>t ?
  6. Bagaimana Israliyyat dalam Kitâb-kitâb Tafsir?
  7. Ada berapa sebab-sebab penggunaan Isra>iliyya>t ?

C. Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian dan historis Isra>iliyya>t ;
2.    Untuk mengetahui kategori Isra>iliyya>t;
3.    Untuk mengetahui dampaknya terhadap kesucian agama islam;
4.    Untuk mengetahui cara penyusupan Isra>iliyya>t  ke Dalam Tafsir;
5.    Untuk mengetahui hukum periwayatan Isra>iliyya>t;
6.    Untuk mengetahui tentang Isra>iliyya>t  dalam kitâb-kitâb tafsir ;
7.    Untuk mengetahui tentang sebab-sebab penggunaan Isra>iliyya>t ;


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Historis Isra>iliyya>t   
Secara etimologis Kata Isra>iliyya>t merupakan bentuk jamak dari kata Israiliyyah; nama yang dinisbahkan kepada kata Israil (Bahasa Ibrani) yang berarti ‘Abdullâh (Hamba Allâh).[1] Dalam pengertian lain Isra>iliyya>t  dinisbatkan kepada Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim. Terkadang Isra>iliyya>t  identik dengan yahudi kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk kepada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk kepada pola pikir termasuk di dalamnya agama dan dogma.
Secara terminologis, kata Isra>iliyya>t , kendati pada mulanya hanya menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaum Yahudi, namun pada akhirnya, para ulama tafsir dan Hadits menggunakan istilah tersebut dalam pengertian yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, ada ulama yang mendefinisikan Isra>iliyya>t  yaitu sesuatu yang menunjukkan pada setiap hal yang berhubungan dengan tafsir maupun Hadits berupa cerita atau dongeng-dongeng kuno yang dinisbahkan pada asal riwayatnya dari sumber Yahudi, Nasrani atau lainnya.[2] Di katakan juga bahwa Isra>iliyya>t  termasuk dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan Hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya dalam sumber lama. Kisah atau dongeng tersebut sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak akidah kaum Muslimin.
Versi lain mengatakan bahwa Isra>iliyyat  adalah kata 'Ajam; bahasa yang bukan asli bahasa Arab, sehingga ketika ditulis bersama dengan bahasa Arab lainnya tidak mempunyai arti, tetapi hanya sebagai salah satu istiulah yang masuk dan diserap ke dalam  bahasa Arab..[3]
Namun yang paling popular dari semua hal itu, Israil adalah gelar Nabi Ya'qub AS. Dengan demikian, Isra>iliyya>t (Bani Israil) adalah keturunan Israil atau Nabi Ya'qub AS. Hal ini tersirat dari riwayat Abu Da>wu>d al-T}aya>li>si dari Ibn 'Abba>s.
Sebagaimana pendapat Ahmad Khali>l Arsya>d, Isra>iliyya>t  adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahl al-Kita>b, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak.[4] Dalam pendapat lain dikatakan bahwa agama merupakan pembauran kisah-kisah dari agama dan kepercayaan non-Islam yang masuk ke Jazirah Arab Islam yang dibawa oleh orang-orang Yahudi yang semenjak lama berkelana ke arah timur menuju Babilonia dan sekitarnya, sedangkan Barat menuju Mesir. Setelah berita (akhba>r) keagamaan yang mereka jumpai dari negera-negara yang mereka singgahi. Di antara cerita-cerita yang termasuk Isra>iliyya>t itu kisah Gharaniqah, kisah Zainab binti Jahsy, cerita kapal Nabi Nuh, warna anjing As}hab al-Kahfi, makanan yang diberikan kepada Maryam. Dajjal dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa sebelum kedatangan agama Islam, ada satu golongan yang disebut dengan kaum Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari kitâb suci mereka.[5]
Problema kehidupan mereka pada saat itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak di antara mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi kurang lebih pada tahun 70 M. Pada masa inilah diperkirakan terjadinya perkembangan besar-besaran kisah-kisah israiliyyah, kemudian mengalami kemajuan pada taraf tertentu. Disadari atau tidak, terjadilah proses percampuran antara tradisi bangsa Arab dengan khazanah tradisi Yahudi tersebut.[6] Dengan kata lain, adanya kisah Isra>iliyya>t  merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[7]


B. Kategori Isra>iliyya>t
Dari segi kandungannya, secara garis besar kisah Isra>iliyya>t  terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, kisah Isra>iliyya>t  yang benar isinya, sesuainya dengan Al-Qurân dan Hadits dan tidak bertentangan dengan keduanya. Kedua, kisah Isra>iliyya>t  yang bertetangan dengan Al-Qurân dan Hadits. Ini harus dijauhi dan tidak boleh diriwayatkan kecuali disertai dengan penjelasan mengenai kedustaannya. Ketiga, kisah Isra>iliyya>t  yang tidak diketahui benar tidaknya. Yang demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan keberadaannya, sesuai dengan Hadits Nabi dari Abu Hurairah.
C. Dampak Isra>iliyya>t  Terhadap Kesucian Ajaran Islam
Adz Dzahabi berpendapat jika Isra>iliyya>t  itu masuk dalam khazanah tafsir al-Quran, ia dapat menimbulkan dampak negatif sebagai berikut. Pertama, Isra>iliyya>t akan merusak aqidah kaum Muslimin, karena ia antara lain mengandung unsur penyerupaan pada Allâh, peniadaan is}mah para Nabi dan Rasul dari dosa karena mengandung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, apalagi sebagai Nabi. Kedua merusak citra agama Islam karena ia mengandung gambaran seolah-olah Islam agama penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbernya. Ketiga, ia menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. keempat, ia dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.
D. Penyusupan Isra>iliyya>t  ke Dalam Tafsir
Jauh sebelum Islam datang, Isra>iliyya>t  sudah mulai memasuki ke budayaan Arab (pada masa jahiliyyah), karena di tengah-tengah mereka orang-orang Ahl al-Kitâb Yahudi telah lama hidup berdampingan. Adanya kisah Isra>iliyya>t  ini merupakan konsekuensi logis dari akuluturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.
Di samping itu harus diakui bahwa masyaraka Madinah dan sekitarnya – tempat Islam berkembang – termasuk masyarakat yang heterogen, dengan Yahudi dan Arab sebagai etnis yang paling dominan. Mereka yang masuk Islam dari kaum Yahudi (suku Bani Qainuqa, suku Quraizah, suku al-Nazir, suku Khaibar, suku Taima dan suku Fadak) dan Nasrani serta Majusi masih tetap membawa kesan-kesan kepercayaan agama mereka dahulu, sehingga dalam memahami Islam tidak jarang mereka menggunakan kacamata pemahaman mereka dahulu. Di samping itu, bangsa Arab sendiri tidak banyak mengetahui perihal kitâb-kitâb terdahulu, sehingga ketika mereka ingin mengetahui tentang penciptaan alam, kejadian-kejadian penting dan sebagainya, mereka harus bertanya Ahl al-Kitâb dari kalangan Yahudi Nasrani.[8] Momen inilah yang merupakan pangkal merembesnya paham-paham isirailiyyat ke dalam Islam.
Ilmu-ilmu seperti dialektika dan kalam (teologi) banyak dipengaruhi juga oleh Isra>iliyya>t. Ibn Atsir dalam Taari>kh-nya mengabadikan bahwa faham khalq Al-Qur'ân yang dicemaskan kaum Mu’tazilah berasal dari Bisyr al-Marisiy. Ia mengambil faham itu dari Jahm ibn Shafwan, Jahm mengadopsinya dari Ja’ad ibn Dirham, Ja’ad menermimanya dari Abab ibn Sam’an.
Jadi penyusunan Isra>iliyya>t  ke dalam tafsir dapat dikatakan melalui periode periwayatan dan pengkodifikasinnya. Pada masa periwayatan dari pada para sahabat dan taib’in tidak terdapat kejanggalan kaerna sahabat mendapatkan tafsir langsung dari Nabi. Bila timbul persoalan, maka Rasul sendiri yang akan memberikan jawaban dan solusinya, baik melalui turun wahyu maupun melalui sabda-sabda yang disampaikannya.
Adapun di masa tabi’in, untuk memercahkan masalah yang dihadapi dalam bidang keagamaan mendapatkan informasi dari para sahabat melalui periwayatan dan menjadi murid-murid para sahabat dalam didikan yang diperolehnya. Namun perseoalannya, tidak semua yang diriwayatkan tabi’in ini berasal sari Rasul Allâh, melainkan ada yang mauquf di sahabat dan tabi’in. Di zaman tabi’in inilah mulai muncul pemalsuan dan kebohongan terhadap Hadits dan tafsir.
Penyusupan Isra>iliyya>t  ini pada awalnya dikarenakan darurat, betapa pun pada masa sahabat. Mereka membaca Al-Qur'a>n yang berisi kisah-kisah, karena isinya hanya ringkas-ringkas saja sehingga diperlukan penjelasan terperinci dan tidak didapatkannya dari Rasululah.
Zaman berikutnya muncul periode kodifikasi tafsir dan Hadits, maka secara tidak disadari Isra>iliyya>t  masuk ke dalamnya sampai tercampur aduk dan tidak diketahui lagi otentitas riwayat, mana yang datang dari Nabi dan mana yang datang dari Ahl al-Kitâb. Untuk mengatasi persoalan itu, para tabi’in menetapkan musnad, dhaba>ith dan sistem adalah para perawi, sebagai dijelaskan al-Imam Muslim dalam Mukadimahnya.
لم يكونوا يسالون عن السناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم
Artinya:
Mereka dahulu belum mempertanyakan tentang isnad, namun setelah terjadinya peristiwa fitnah, mereka berpendapat: “Namailah untuk kepentingan kita para tokoh kalian [9]
E.  Hukum Periwayatan Isra>iliyya>t
Dan segi kandungannya, secara garis, Isra>iliyya>t  terbagi menjadi tiga bagian, Pertama, kisah Isra>iliyya>t  yang benar isinya, sesuai dengan Al-Qur'ân dan Hadits. Kedua, kisah Isra>iliyya>t  yang bertentangan dengan Al-Qur'ân dan Hadits. Ketiga, kisah Isra>iliyya>t  yang tidak diketahui benar tidaknya.
Dan ketiga kategori kisah-kisah israillyat itu, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa cerita Isra>iliyya>t  yang shahih boleh diterima; cerita yang dusta harus ditolak; dan yang tidak diketahui kebenaran dan kedusataannya didiamkan; tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan; jangan mengimaninya dan jangan pula membohonginya.
Al-Biqa>’I berpendapat bahwa hukum mengutip riwayat dari Bani Israil yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan oleh kitâb Al-Qur'ân dibolehkan, demikian pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya di bolehkan, demikian pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya hanyalah ingin mengetahui semata, bukan untuk dijadikan pegangan. Sedangkan menurut Jumhur, Isra>iliyya>t , sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur'ân dan Hadits dapat diterima dan menolak Isra>iliyya>t  yang bertentangan dengan keduanya. Adapun Isra>iliyya>t  yang tidak diketahui benar tidaknya, bersifat tawaqquf. Hal ini didasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah.

لَاتُصَدِّقُوْا اَهْلَ اْلكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوْاهُمْ وَقُوْلُوْا اَمَنَّا بِاللهِ وَمَااُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَا اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ


Artinya:
Janganlah kamu sekalian membenarkan Ahl al-Kita>b dan jangan pula mendustakannya: ucapkanlah: “Kami beriman kepada Allâh dan kepada kitâb yang di turunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu
F. Israliyyat dalam Kitâb-kitâb Tafsir
Ada beberapa kitâb tafsir Al-Qur'ân yang diduga keras banyak mengambil cerita-cerita Isra>iliyya>t .
1. Jâ>mi’ al-baya>n fi tafsi>r al-Qur'a>n
Tafsir ini disusun oleh Ibn Jarir al-Thaba>riy (224-310 H), seorang yang terkenal dalam bidang fiqh dan Hadits, di samping ahli tafsir. Kitâb tafsir ini termasuk di antara sekian banyak tafsir yang terpopuler dan menjadi referensi dalam tafsir bi al-ma’tsu>r terdiri dari 30 Juz yang masing-masing berjilid tebal. Menurut al-Dzaha>bi, tafsir karya al-Thaba>ri ini merupakan tafsir pertama di antara tafsir-tafsir awal yang pertama pada masa dan ilmunya.
2. Tafsi>r muqa>til
Tafsi>r ini di susun oleh Muqa>til bin Sulaima>n (w. 150 H), seorang yang ahli dalam bidang tafsir. Ia juga banyak mengambil Hadits dari tabi’in terkenal, seperti Mujahid ibn Jabbar, Atha Ibn Rabbah, Dhahak ibn Mazhahiru dan “Athiyah ibn Sa’id al-Awfi. Namun, menurut sebagian pendapat, ia tidak mengambil Hadits dari ad-Dhahak, karena Dhahak meninggal 4 tahun sebelum Muqatil meninggal.
3. Tafsi>r al-Kasyâf wa al-Bayân
Penulis tafsir ini Ahmad ibn Ibrahim al-Tsa’labi al-Naisaburiy. Panggilannya Abu Ishaq yang wafat tahun 427 H Ia menafsirkan Al-Qur'ân berdasarkan Hadits yang bersumber dari ulama Salaf. Sayangnya, dalam menukil sanad-sanad Hadits, ia tidak mencantumkannya secara lengkap. Tafsir ini sedikit membahas nahwu dan fiqh; karena ia seorang pemberi nasehat, maka ia senang terhadap kisah-kisah. Oleh karena itu. Dalam kitâb tafsirnya ini banyak cerita-cerita Isra>iliyya>t  yang janggal dan cenderung menyimpang dari kebenaran.
4. Tafsi>r ma’âlim al-Tanziil
Tafsir ini ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al-Baghawiy, seorang ahli tafsir dan Hadits serta berfaham Syafi’i. tafsirnya lebih ringkas kendati banyak berisi cerita Isra>iliyya>t . Namun, secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih murni ketimbang kebanyakan tafsir-tafsir bi al-ma’tsur.
5. Tafsiir lubâb al-ta’wiil fi ma’âniy al-tanziil
'Ala' al din al hasan, Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Amr ibn Khalîl  al-Syaibaiy (678-741 H) dikenal penulis dari tafsir al-Lubab ini. Sebagai seorang sufi yang senang memberi nasehat, maka tidak heran jika senang bercerita. Ia juga dikenal sebagai khazin (penjaga kitâb-kitâb Samisatiyah) di Damaskus, sehingga bacaannya akan kitâb-kitâb tersebut mempengaruhi tulisan tafsirnya.
6. Tafsi>r Al-Qur'a>n al-Azhi>m
Tasfir ini populer dengan sebutan tasir Ibn Katsir, nama tafsir yang dinisbatkan kepada pengarangnya, yaitu Ibn Katsi>r; nama lengkapnya Hâfizh Imad al-Din Abu al-Fida Ismâ’il Ibn Katsur Ibn Dhaw ibn Zar ‘a al-Bishri al-Dimasyqiy. Ia seorang tekenal ahli fiqh, ahli Hadits dan ahli tafsir penganut madzhab al-Safi’i.[10]
G. Sebab-sebab Penggunaan Isra>iliyya>t
Sebenarnya cara merembesnya cerita-cerita Isra>iliyya>t  ke dalam tafsir dan Hadits didahului oleh masuknya kebudayaan Arab zaman jahiliyyah. Pada waktu itu hidup di tengah-tengah orang Arab segolongan Ahli Kitâb, yaitu kaum Yahudi yang pindah ke Jazirah Arab sejak dahulu. Perpindahan itu terjadi secara besar-besaran pada tahun 70 M. Mereka lari dari ancaman dan siksaan yang datang dari Titus (Lihat Kitâb Al-Yahudi fi Biladil Arab, oleh Israil Alfansi, hal. 9; dan Al-Arab Qablal Islam oleh Jawat Ali, Jilid 6 hal. 24; serta Banu Israil min Asfarihim oleh Muhammad Izzat Darwazah.
Tafsir dan Hadits, keduanya sangat terpengaruh oleh kebudayaan Ahli Kitâb yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Isra>iliyya>t  juga mempunyai pengaruh yang buruk ia diterima oleh masyarakat umum dengan kecintaanyang jelas. Ia dituliskan pula oleh sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala ia sampai pada keadaan diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua merupakan hal yang akan merusak akidah sebagian besar kaum Muslimin, serta menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Menyusupnya cerita Isra>iliyya>t  ke dalam tafsir dan Hadits secara meluas itu karena telah diketahui oleh para ulama, bahwa tafsir dan Hadits itu memilki dua periode yang berbeda. Pertama, periode periwayatan, dan kedua, periode pembukuan.
1. Periode Periwayatan tafsir
Rasulullâh bergaul dengan para sahabatnya dan memberi penjelasan kepada mereka tentang urusan agama dan dunia dianggap penting oleh mereka atau dianggap penting oleh Nabi. Penjelasan Nabi itu mencakup juga tafsir-tafsir ayat Quran yang dianggap masih samar oleh para sahabatnya.
Para sahabat, memperhatikan dan menghafal penjelasan Nabi tersebut, kemudian mereka menyampaikannya kepada saudara-saudaranya yang tidak hadir dalam majelis Nabi dan juga kepada murid-muridnya sampai kepada tabi’in. para tabi’in meriwayatkan apa yang mereka terima dari pada sahabat kepada tabi’in lainnya, dan juga mereka menyampaikan kepada para muridnya sampai generasi tabi’it-tabi’in.
Pada periode tabi’in banyak Hadits-Hadits palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullâh tersebar, (dianggap dari Rasul, padahal bukan, pent). Dan karena itu mereka tidak menerima suatu Hadits, kecuali apabila Hadits itu Hadits musnad dan yakin akan keadilan perawinya dan kekuatan hafalannya.
2. Periode pembukuan tafsir
Periode ini dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah. Awal dari pembukaan tafsir dan Hadits adalah satu, ketika Umar bin Abdul Aziz, memerintahkan semua ulama di seluruh dunia untuk mengumpulkan Hadits-Hadits rasul yang menurut anggapan mereka sama. Para ulama tersebut bekerja dengan sungguh-sungguh. Di antara mereka ada yang berkeliling ke negara-negara yang berbeda untuk mengumpulkan Hadits Rasulullâh. Termasuk ke dalam tugas lingkup ini, segala yang berpengaruh terhadap tafsir dan segala keterangan dari para sahabat dan tabi’in. apa yang mereka kumpulkan tersebut kemudian dibukukan menjadi bermacam-macam bab yang bervariasi, dan tafsir merupakan salah satu bab dari bab-bab tersebut.
Jadi, jelaslah dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Tafsir Hadits sudah melekat pada keduanya, dua periode yang sangat jelas, yaitu periode periwayatan dan periode pembukuan. Hanya saja tafsir bil-Mansur tidak bisa dilepaskan keadaanya dari Hadits.
2.      Semua faktor yang melemahkan pada kedua periode itu yang menimpa tafsir pada hakikatnya menimpa Hadits pula.
3.      Segala cerita-cerita yang bohong dan batil yang tercampur dengan tafsir, juga terjadi pada Hadits, orang-orang yang mempunyai maksud buruk dan jahat membuat Hadits-Hadits yang dinisbahkan kepada Rasulullâh. Banyak di antara Hadits tersebut yang dinisbahkan kepada tafsir, dijadikan landasan dan pegangan oleh orang-orang yang tersesat dan tertipu.
Sesungguhnya bahaya cerita-cerita Isra>iliyya>t, sebagaimana telah kita kemukakan di atas, telah menyusup ke dalam tafsir dan Hadits secara berangsung-angsur melalui periwayatan dan pembukuan.
3. Periode periwayatan Hadits
Pada periode ini cerita Isra>iliyya>t merembes ke dalam tafsir dan Hadits atau dalam waktu yang sama secara berbarengan. Hal ini terjadi karena pada mulanya tafsir dan Hadits merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Masalah ini terjadi pada zaman sahabat. Mereka membaca Quran yang di dalamnya terdapat kisah-kisah dan berita-berita. Mereka melihat, bahwa Quran menceritakan kisah tersebut hanyalah dalam batas nasihat dan ibarah. Apa yang terperinci mereka satukan, dan apa yang global mereka uraikan sesuai dengan pengetahuan mereka. Hal ini terjadi, dalam kondisi mereka berdekatan dengan para ahli kitâb, dan juga masuk ke dalam Islam sekelompok orang dari mereka.
4. Periode pembukaan Hadits
Pada periode ini, sebagaimana telah kita ketahui, Hadits dibukukan dengan bantuan ilmu lain yang bermacam-macam, dan tafsir pun termasuk salah satu bagian daripadanya. Pada mulanya riwyat Mansur itu dikemukakan dengan terang sanad-sanadnya. Secara umum tafsir pada masa ini bersih dari cerita-cerita Isra>iliyya>t , kecuali sedikit saja, itu pun tidak bertentangan dengan nas syar’i. sbagian dari cerita tersebut ada yang diriwayatkan dari Rasulullâh melalui riwayat yang shahih, seperti Hadits-Hadits tentang Bani Israil yang terdapat dalam Shahih Bukhari mau pun kitâb-kitâb Hadits senada lainnya.

H. Analisis
Kitab tafsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Syaikh Ibnu Katsir telah menjadi rujukan penting para pengkaji ilmu al-Qur’an hingga saat ini. Kekuatannya terletak pada penjelasannya yang dilengkapi dengan hadis-hadis dan riwayat-riwayat  yang masyhur. Ia sangat ketat menyeleksi riwayat-riwayat yang diragukan kesahihannya.
Kota Damaskus pada waktu itu menjadi pusat peradaban ilmu pengetahuan. Kota ini menjadi pusat perhatian para pencari ilmu dan ulama. Banyak sekali ulama’ yang memiliki otoritas tinggi yang mengajar di kota Damaskus. Di sinilah Ibnu Katsir mendalami ilmu agama. Saudara laki-lakinya, Abdul Wahab, setia mendampingi Ibnu Katsir belajar. Ia sudah seperti ayahnya sendiri, menghidupi dan mengajari. Abdul Wahab merupakan guru pertamanya Ibnu Katsir, sebelum Ibnu Katsir belajar ilmu agama kepada para Syaikh.
Para murid dan ulama’ Damaskus mengenal Ibnu Katsir sebagai ilmuan yang memiliki kelebihan menghafal dengan kuat. Salah satu muridnya, Ibnu Hijjiy mengatakan : “Ibnu Katsir adalah orang yang paling kuat hafalan hadisnya yang saya kenal. Paling tahu tentang ilmu Jarh wa Ta’dil dan kesahihan sebuah hadis”.
Hal senada juga disampaikan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata bahwa beliau adalah seorang yang disibukkan dengan hadits, menelaah matan-matan dan perawinya, ingatannya sangat kuat, pandai membahas, kehidupannya dipenuhi dengan menulis kitab, dan setelah wafatnya manusia masih dapat mengambil manfa’at yang sangat banyak dari karya-karyanya.
Ia juga terkenal ahli mengungkapkan dan mengolah  berbagai macam materi dari sejumlah teks menjadi buah karya yang orisinil. Teks-teks kitab dari berbagai macam ilmu ia hafal di luar kepala. Kemudia dituangkan dalam bentuk tulisan, bukan sekedar memindah tapi mengolahknya menjadi karya yang berbobot, dan memiliki kekhasan.
Ilmu yang menjadi perhatian adalah tafsir dan hadis. Ia dikenal sangat hati-hati mengeluarkan hadis. Sehingga kitab hadisnya unggul di bidang kekuatan hadisnya. menghindarkan pengulangan, memperbaiki penjelasan, menjauhkan hadis-hadis dhaif (lemah) dan maudhu’, serta menghapus kisah-kisah Israiliyat (bersumber dari Yahudi dan diragukan kebenarannya). Di samping itu, juga membersihkan konsep-konsep yang berbau khurafat, menjelaskan pembahasan sekaligus tujuannya melalui beberapa ulasan yang menonjolkan akidah. Karena itu Tafsir Ibnu Katsir disebut-sebut sebagai yang terbaik di antara tafsir yang ada pada zaman ini.
Berkaitan dengan masalah israiliyyat yang terdapat pada al-Qur’an dan al-Hadits Ibnu Katsir mengingatkan agar hati-hati menggunakan kisah israiliyyat dan riwayat-riwayat lemah dalam menafsirkan al-Qur’an. Kadang beliau juga menngutip kisah yang tidak bermasalah karena sudah masuk dalam riwayat-riwayat Islam. Dan beliau juga menjelaskan tentang israiliyyat yang tidak bisa dipercaya. Kehati-hatian menerima riwayat ini karena beliau memang pakar hadis yang cukup selektif. Ilmu ini ia peroleh dari gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ia belajar kepada Ibnu Taimiyah bersama Ibnu Qoyyim dan al-Dzahabi.
Karakter lainnya dari Tafsir Ibnu Katsir adalah tafsirnya juga dilengkapi penjelasan hukum-hukum fikih dengan menyebut dalil para ulama’, mendasarkan kepada kaidah bahasa Arab dan Syair, menyebutkan pemikiran tokoh-tokoh ahli hadis dan ahli-ahli lainnya.
I. Aktualisasi Materi Israiliyyat dalam Pendidikan
Perlu diketahui bahwa kisah-kisah Isra>iliyya>t  terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, yang sesuai dengan syariat kita. Kedua, yang bertentangan dengan syariat dan ketiga yang didiamkan (maksud anhu), yakni tidak terdapat di dalam yang menyatakan tidak ada manfaatnya. Adapun Jika dilihat dari sudut sahih dan tidaknya, kisah Isra>iliyya>t  terbagi pada kisah yang sahih dan kisah yang dhaif (termasuk dhaif yang maudhu>’).
Implementasi dari kisah-kisah Israiliyyat dalam dunia pendidikan islam terutama dalam lembaga pendidikan dasar Islam. Tentunya dari analisis diatas dapat menjadikan cerminan terhadap kita sebagai kaum terpelajar(baca: intelektual) diarahkan untuk lebih berhati-hati dalam memanfaatkan materi ajar kepada peserta didik terkait riwayat kisah-kisah israiliyyat yang masuk dalam tafsir al-Qur’an maupun Hadits. Karena didalam kisah-kisah tersebut banyak mengandung riwayat-riwayat lemah yang perlu mendapatkan penelitian terlebih dahulu. Begitu pula tidak menutup kemungkinan sebagian daripada kisah-kisah israiliyyat juga ada yang valid/shahih. Maka dari itu, selektifitas sebelum pemanfaatan sangat ditekankan guna menyelamatkan generasi-generasi Islam dari kisah-kisah palsu yang digulirkan oleh kaum yahudi melalui penyusupannya dalam menafsirkan al-Qur;an dan hadits.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapat di tarik kesimpulan:
 Pertama, kisah Isra>iliyya>t  adalah kisah-kisah yang sebagian besar bersumber dari orang-orang Yahudi baik disadari atau tidak, yang telah menyusup kedalam khazanah Tafsir Al-Qurân dan Hadits
Kedua latar belakang timbulnya Isra>iliyya>t  adalah semakin banyaknya orang-orang Yahudi atau ahli kitâb yang masuk Islam, adanya keinginan sebagian dari kaum muslimin untuk mengetahui ihwal orang-orang yahudi yang mempunyai peradaban tinggi di banding kaum muslimin di jazirah arab pada watku itu.
Ketiga Isra>iliyya>t  mempunyai dampak negatif terhadap penafsiran al-Qur'ân ia dapat merusak citra agama islam, merusak aqidah muslim dan memalingkan kaum muslimin dari ajaran al-Qur'ân dan sunnah.
B. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi pembacanya. Tidak lupa kritik dan saran sangat kami nantikan guna perbaikan selanjutnya. Dan terdapatnya kesalahan dalam penulisan dan penyampaian karena lemah dan kurangnya pengetahuan kami, dan apabila ada kebenaran semata-mata hanya dari Allah SWT.  

DAFTAR PUSTAKA
Abu Abd Allâh Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam Al-quran, jilid I Kairo, Dar al-Kutub al-Mishriyyah, t.t.
Ahmad Khalîl  Arsyad, Dirash fi Al-Qur'ân, Mesir, Dar al-Ma’arif, 1972.
Ahmad, Syadali, Ahmad Rafi’i, Ulumul Quran I, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1997.
Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid I Delhi, Al-Amriyyah, t.t.
Amin Al-Khuli, Manhajut Tajaad fit Tafsir, Kairo, Darul Ma’arif, 1961.
Ignaz Goldziher, Madzahib at-Tafsir Al-Islami, Kairo, As Sunnah Al-Muhammadiyah, 1995.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung, MIzan, 1995.
Manna ‘Khalîl Al-Qaththân , Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, Jakarta, Litera Antar Nusa, 1996.
Muhammad Abu Syubbah, al-Isra>iliyya>t  wa al-Mawdhu at fii Kutub al-Tafsir, Kairo, Maktabah al-Sunnah, 1408.
Muhammad Chirzin, Al-Qurân dan Ulumul Quran, Yogyakarta, PT Dana Bhakti Primayasa, 1998.
Muhammad Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, Mesir, al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962.
Supiana dan M. Karman,, Ulum Quran, Bandung, Pustaka Islamika, 2002.



[1] Muhammad Husein al-Khalaf, al-Yahudiyyah bayna al-Masihiyyah wa al-Islam, (Mesir: al-Muassasah al-Mishriyyah, 1962), 14.
[2] Muhammad Husein al-Dzahabi. Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-hadits, cet.IV.(Kairo Maktabah Wahhab,tt), 13.
[3]Abu Abd Allâh Muhammad al-Anshari al-Qurthhubiy, al-Jami li Ahkam Al-quran, jilid I (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, tp), 331.
[4] Ahmad Khalil Arsyad, Dirash fi Alquran, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972),  15.
[5] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Quran, terjemah Mudzakir AS (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996),  42.
[6] Amin Al-Khuli, Manhajut Tajad fi at-Tafsir, (Kairo: Darul Ma’arif, 1961), h. 227
[7] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: MIzan, 1995),  46.
[8] Muhammad Abu Syubbah, al-Isrâiliyyat wa al-Mawdhu' at fil Kutub al-Tafsir, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1408), 11
[9] Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid I (Delhi: Al-Amriyyah, t.t), 112.
[10]. Supiana dan M. Karman,, Ulum Quran, (Pustaka Islamika, bandung, 2002). 197-208.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar