Selasa, 11 Desember 2018

Rekreasi Kelas V dan VI @Batu Malang Jatim Park 1 














Foto Bersama Tim Penilai Lomba Kebersiahn Tingkat Kecamatan Gandusari
Monitoring PASBK Kelas VI






Lomba Kebersihan Tingkat Kabupaten Dalam Rangka HAB KEMENAG KE 73

Bersama Tim Penilai Lomba Kebersihan Tngkat Kabupaten


Madrasahku Indah Madrasahku Bersih 
 Dewan Guru MI Hasyim Asy'ari Wonoanti
Ekspresikan Dirimu Sesuka Hatimu














Rabu, 01 April 2015

TAKHRIJ HADITS TENTANG KHISHALUL MUNAFIQ DALAM KITAB SHAHIH BUKHARI DAN IMPLIKASINYA



TAKHRIJ HADITS
TENTANG KHISHALUL MUNAFIQ DALAM KITAB SHAHIH BUKHARI DAN IMPLIKASINYA
 




 







Disusun Oleh :

Siti Husnul Khotimah

 

                                                          MI HASYIM ASY'ARI
                                              JL. KH. AGUS SALIM RT 09 RW O4
                 WONOANTI GANDUSARI TRENGGALEK JAWA TIMUR INDONESIA 






BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Penjelasan Nabi Muhammad Saw  yang terwujud dalam bentuk hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an. Ia bukan hanya sebagai penjelas terhadap isi kandungan  Al Qur’an yang masih bersifat universal dan global, tetapi juga merupakan ungkapan-ungkapan, pesan serta tindakan-tindakan yang lahir dari seorang Rasul.
Penjelasan nabi yang berwujud dalam bentuk hadits tersebut telah menjadi kajian serius di kalangan kaum terpelajar Islam. Bahkan telah menjadi suatu bidang ilmu yang terus dicari,  yang mana sesungguhnya kata-kata yang berjumlah ratusan ribu itu yang betul-betul bersumber dari manusia pilihan , yaitu Nabi Muhammad Saw.
Dalam perkembangan sejarahnya telah ditemukan pemalsuan hadits  yang dilakukan  orang Islam maupun non Islam yang ingin meruntuhkan Islam .
Untuk itu, dalam rangka menyelamatkan keshahihan hadits ditengah-tengah berkecamuknya hadits palsu , maka para ulama hadist menyusun kaidah-kaidah penelitian hadits dengan tujuan utama untuk meneliti keshahihan matan hadits. Sedangkan untuk kepentingan penelitian matan hadits tersebut disususnlah keshahihan sanad hadits, sehingga ditemukanlah hadits yang shahih , hasan dan dhoif. Dengan demikian banyak hadits yang mardud (tertolak) karena cacat pada matan dan sanadnya.
Untuk itulah, maka penelitian terhadap suatu hadist guna mengetahui tingkat validitasnya sangat signifikan. Agar suatu hadits dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan hujjah atau tidak dalam menetapkan suatu hokum, langkah yang harus dilakukan adalah mengadakan penelitian ulang terhadap hadits-hadits terutama dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrij.
 Terkait dengan hal tersebut , penulis  merasa tertarik untuk mengangkat hadits "خصال المنا فق" yang saat ini sebagian besar tanda-tandanya sudah mewabah dalam kehidupan manusia akibat perkembangan zaman.
Kata al-Munafiq (jamak al-munafiqun) berarti “orang yang berpura-pura atau ingkar”. Apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati serta tindakannya. Ia hanya ingin dilihat sebagai orang yang mengerjakan kebaikan (amal Islami).Apabila hal ini terjadi dalam masalah aqidah dan keimanan, maka disebut sebagai Nifaqul Kufri.
Ciri-ciri orang munafiq adalah apabila dipercaya ia berkhianat, apabila berjanji ia mengingkari, apabila berkata ia berbohong. Tidak heran, karena di tiap jenjang pendidikan selalu diajarkan tentang apa itu munafiq dan ciri-cirinya ,bagaimana menghindarinya, dsb. dan jawaban untuk pertanyaan ciri-ciri orang munafiq selalu ditekankan pada 3 hal tersebut. Mungkin tujuannya supaya setiap orang bisa benar-benar mengerti apa itu munafiq dan bisa menjuhkan diri dari kemunafiqan. Hanya qalbu yang bisa memberi tahu apakah diri ini termasuk dalam golongan orang munafiq atau tidak. Namun seringkali manusia cenderung mengedapankan pikiran dari pada hati, sehingga manusia tidak tahu apakah dirinya orang munafiq atau tidak dan yang ada hanyalah manusia semakin terjerumus dalam kemunafiqannya.


B.     Rumusan masalah
1.    Bagaimanakah lafadz hadits shahih bukhori No. 32?
2.    Bagaimana terjemahan dari hadits shahih bukhori No. 32?
3.    Apakah asbabul wurud dari hadits shoheh bukhori No. 32?
4.    Bagaimanakah takhrij Hadits tersebut?
5.    Bagaimanakah syarah (keterangan) dari hadits tersebut?
6.    Bagaimanakah komentar orientalis mengenai Hadits?
7.    Bagaimanakah kontek hadits tersebut jika dihubungkan dengan zaman sekarang?
8.    Bagaimanakah analisis dari hadits tersebut?




C.  Tujuan Pembahasan
1.    Mengetahui  bunyi Hadits Shahih Bukhori No. 32
2.    Mengetahui terjemahan dari Hadits Shahih Bukhori No. 32
3.    Mengetahui asbabul wurud dari Hadits Shahih Bukhori No. 32
4.    Mengetahui  takhrij Hadits tersebut
5.    Memahami syarah (keterangan) dari hadits tersebut
6.    Mengetahui komentar orientalis mengenai Hadits
7.    Mengetahui konteks hadits tersebut jika dihubungkan dengan zaman sekarang
8.    Mengetahui analisis dari hadits tersebut






















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Hadits dan Terjemahnya
Hadits Shahih Bukhari No. 32

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو الرَّبِيعِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.[1]

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi' berkata, telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bin Malik bin Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". (HR. Bukhari)


B.     Asbabul Wurud Hadits
Setelah melakukan telaah tentang asbabul wurud hadits, penulis belum menemukan asbabul wurud tentang hadits di atas. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa tidak semua hadits dapat ditelusuri asbabul wurudnya, memngingat jumlah hadits yang sangat banyak dan diriwayatkan oleh para perowi yang berbeda dalam masa yang beragam pula.



C.     Takhrij Hadits
1. Takhrij sanad


Keterangan Perawi:
a.       Abu Hurairah
1)      Nama Lengkap : A bdurrahman bin Shakhr Al Azdi
2)      Kalangan                      : Sahabat
3)      Kuniyah                        : Abu Hurairah
4)      Negeri semasa hidup     : Madinah
5)      Wafat                           : 57 H
6)      Guru                             : Muhammad saw., Abu Bakar As-siddiq         
7)      Murid                           : Malik Ibn ‘Amir, Anas bin Malik, Ibnu      
                                       Abbas
8)      Komentar Ulama terhadap perawi
-      Ibnu Hajar Al-Asqalani             : Sahabat
b.      Malik bin ‘Amir
1)   Nama Lengkap                : Malik bin ‘Amir bin ‘Amr bin al-Harits
2)   Kalangan                         : Tabi’in kalangan tua
3)   Kuniyah                           : Abu Anas
4)   Negeri semasa hidup        : Madinah
5)   Wafat                              : 74 H
6)   Guru                                : Abu Hurairah, Utsman bin Affan
7)   Murid                              : Nafi’ bin Malik bin Abi ‘Amir
8)   Komentar Ulama terhadap perawi
-      An Nasa’i                       : Tsiqah
-      Ibnu Hibban                    : disebutkan dalam ats Tsiqaat
-      Ibnu Sa’d                        : Tsiqah
-      Ibnu Hajar Al Asqalani    : Tsiqah
c.       Nafi’ bin Malik bin Amir Abu Suhail
1)   Nama Lengkap                : Nafi’ bin Malik bin Abi ‘Amir
2)   Kalangan                         : Sahabat
3)   Kuniyah                           : Abu Suhail
4)   Negeri semasa hidup        : Madinah
5)   Wafat                              : 140 H
6)   Guru                                 :Malik Ibn ‘Amir, Anas bin Malik, Sa’id bin  al Hani
7)   Murid                              : Ismail bin Ja’far, Imam Malik
8)   Komentar Ulama terhadap perawi
-   Ahmad bin Hambal                   : Tsiqah
-   Abu Hatim                                : Tsiqah
-   An Nasa’i                                : Tsiqah
-   Ibnu Hibban                             : disebutkan dalam ats Tsiqaat
-   Ibnu Kharasy                            : Shadduq
-   Ibnu Hajar Al Asqalani : Tsiqah
-   Adz Dzahabi                             : Tsiqah

d.      Ismail bin Ja’far
1)      Nama Lengkap              : Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir al-Ansari
2)      Kalangan                       : Tabi’ut Tabi’in kalangan pertengahan
3)      Kuniyah             : Abu Ishaq
4)      Negeri semasa hidup      : Madinah
5)      Wafat                            : 180 H
6)      Guru                              : Nafi’ bin Malik, ‘Abdullah bin Dinar
7)      Murid                            : Sulaiman bin Da’ud al-‘Atki al-Zahrani
8)      Komentar Ulama terhadap perawi
-   Ahmad bin Hambal                 : Tsiqah
   - Abbas Ad Dauri                      : Tsiqah lebih tsabit dari Ibnu Abi     Hazim, Ad Darawardi, dan Abu Dlamrah
-   Muhammad bin Sa’d               : Tsiqah
-   Abdurrahman bin Yusuf           : Shaduuq
-   Ibnul Madini                            : Tsiqah
-                         Ibnu Abi Khaitsamah               : Tsiqah, qalilul khata,  dan   shaduuq
-   Al Khalili                                 : Tsiqah
-   Al Hakim                                : Tsiqah
-   Ibnu Hibban                            : disebutkan dalam ats Tsiqaat
-   An Nasa’I                               : Tsiqah
-   Yahya bin Ma’in                     : Tsiqah
e.       Sulaiman Abu ar-Rabi’
1)   Nama Lengkap                : Sulaiman bin Da’ud al-‘Atki al-Zahrani
2)   Kalangan                         : Tabi’ul Atba’ kalangan tua
3)   Kuniyah                           : Abu Ar Rabi’
4)   Negeri semasa hidup        : Baghdad
5)   Wafat                              : 234 H
6)   Guru                                : Ismail bin Ja’far, Imam Malik
7)   Murid                              : al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Da’ud

8)   Komentar Ulama terhadap perawi
-   Ibnu Hibban                             : disebutkan dalam ats Tsiqaat
-   Yahya bin Ma’in                       : Tsiqah
-   Abu Hatim                                : Tsiqah
-   Abu Zur’ah                               : Tsiqah
-   An Nasa’I                                : Tsiqah
-   Maslamah bin Qasim                : Tsiqah
-   Ibnu Hajar Al Asqalani : Tsiqah
-   Adz Dzahabi                             : Al Hafidz
f.        Bukhari
1)      Nama Lengkap             :Muhammad Ibn Ismail Ibn al-Mughirah  Ibn al-Bukhari
2)      Kuniyah                        : Abu Abdullah
3)      Tempat Lahir                : Bukhara,13 Syawal 194 H
4)      Wafat                           : 256 H
5)         Guru                           :Abu ar-Rabi’,  Yahya bin Yahya bin Bukayr
6)      Murid                           : Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajaj an Naisaburi, Imam Abu ‘Isa at Tirmizi[2]
7)   Komentar Ulama          : Daya hafalan yang sangat kuat
a)       Abu Bakar ibnu Khuzaimah telah memberikan kesaksian  terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang  yang lebih mengetahui hadits dari Muhammad bin Isma'il."
b)      'Abdan bin 'Utsman Al  Marwazi berkata; 'aku tidak pernah melihat dengan kedua mataku, seorang pemuda  yang lebih mendapat bashirah dari pemuda ini.' Saat  itu telunjuknya diarahkan  kepada Bukhari  
c)      Qutaibah  bin Sa'id menuturkan; 'aku duduk bermajelis dengan para ahli fikih, orang-orang  zuhud dan ahli ibadah, tetapi aku tidak pernah melihat semenjak aku dapat  mencerna ilmu orang yang seperti Muhammad bin  Isma'il. Dia adalah sosok pada zamannya seperti   'Umar di kalangan para sahabat. Dan dia berkata; ' kalau seandainya  Muhammad bin Isma'il adalah seorang sahabat maka dia merupakan ayat.
d)      Ahmad bin Hambal berkata; Khurasan tidak pernah  melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma'il.
e)      Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair menuturkan;  kami tidak pernah melihat orang yang seperti Muhammad bin Ism'ail
f)           Bundar berkata; belum ada seorang lelaki yang memasuki  Bashrah lebih mengetahui terhadap hadits dari saudara kami Abu Abdillah.
g)         Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah  melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il,  juga belum pernah ada orang yang pergi dari  kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya."
h)         Muslim (pengarang kitab Sahih) berkata ketika Bukhari  menyingkap satu cacat hadits yang tidak di ketahuinya; "Biarkan saya mencium  kedua kaki anda, wahai gurunya para guru dan pemimpin para ahli hadits, dan  dokter hadits dalam masalah ilat hadits."
i)            al-Hafiz Ibn  Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari  masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan lautan tak bertepi."
Berdasarkan kajian terhadap sanad hadits di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadits tentang ciri-ciri orang munafiq  yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah berkualitas shahih. Alasannya adalah karena jalur periwayatan hadits ini bersambung dari awal sanad sampai Rasulullah  dan didukung oleh para perawi yang memiliki kualitas tsiqah.

2.Takhrij matan
              Para ulama sudah merumuskan beberapa tolok ukur yang bisa digunakan dalam melakukan kritik terhadap matan hadits. Dalam hal ini, penulis menggunakan tolok ukur kritik matan  yang dikemukakan oleh Shalahuddin al Adlabi,[3] yakni:
a.       Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian
b.      Tidak bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an
c.       Tidak bertentangan dengan hadits dan sirah Nabi
d.      Tidak bertentangan dengan akal sehat

Berdasarkan tolok ukur pertama dan ketiga hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah di atas sudah menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian serta tidak bertentangan dengan hadist nabi yang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hadits yang menjadi Syawahid (penguat) antara lain :

No. Hadits
Sumber
Tema Indonesia
Tema Arab
من أمر بإنجاز الوعد
قول الله تعالى يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله
بيان خصال المنافق
بيان خصال المنافق
ما جاء في علامة المنافق
علامة المنافق
علامة المنافق

              Adapun tolok ukur kedua, matan hadits ini menjelaskan tentang ciri-ciri orang munafiq tidak bertentangan dengan dasar Islam yang pertama yaitu Al-Quran. Salah satu ciri orang munafiq adalah berkhianat bila diberi kepercayaan sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al Anfaal ayat 27:
$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr&
 öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ  
Artinya :
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
(QS. Al Anfaal :27)

Allah SWT berfirman dalam surat At Taubah ayat 77:
öNåkz:s)ôãr'sù $]%$xÿÏR Îû öNÍkÍ5qè=è% 4n<Î) ÏQöqtƒ ¼çmtRöqs)ù=tƒ !$yJÎ/ (#qàÿn=÷zr& ©!$# $tB
 çnrßtãur $yJÎ/ur (#qçR$Ÿ2 šcqç/Éõ3tƒ ÇÐÐÈ  
Artinya :
“Maka Allah menimbulkan kemunafiqan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta”. (QS. At Taubah :77)
              Ayat-ayat Al Qur’an di atas memperjelas isi kandungan hadist tentang ciri-ciri orang munafiq dan secara logika isi kandungan hadits tersebut tidak bertentangan dengan ayat Al Qur’an bahkan pada lafadz hadits tersebut tidak ditemukan adanya kejanggalan/cacat. Serta dari segi linguistik juga tidak ada kejanggalan. Oleh karena itu hadits ini dari sisi matan adalah shahih.
D.    Penjelasan Hadits
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ         (tanda-tanda orang munafiq ada tiga) Arti dari kata  آيَةُ adalah  عَلَامَةٌ(tanda). Penggunaan bentuk tunggal dari kata  اَ يَاتٌ adalah untuk menunjukkan jenis, atau karena tanda-tanda orang munafiq tersebut hanya akan terwujud jika terkumpul tiga karakter tersebut. Alasan pertama adalah alasan yang disetujui oleh Imam Bukhari. Oleh karena itu, dalam bab lain beliau menggunakan bentuk jama' (plural) seperti yang diriwayatkan oleh Abu Awanah dengan lafazh,  عَلَامَاتُ الْمُنَافِقِ (tanda-tanda orang munafiq). [4]
Sifat munafiq secara umum adalah sebagai peringatan bagi manusia untuk tidak melakukan sifat ini. Pendapat ini didukung oleh Al Khaththabi. Disebutkan juga bahwa kemungkinan yang disifati dengan sifat tersebut adalah orang yang telah terbiasa melakukan hal tersebut, sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Dia berkata, "Pernyataan tersebut dikuatkan dengan disebutkannya kata "اِذَا" (jika), karena kata tersebut menunjukkan pengulangan pekerjaan.
Yang lebih utama adalah apa yang dikatakan Al Karmani,"Penghapusan obyek dari kata "حَدَثَ" (mengatakan) mengindikasikan arti umum. Artinya, jika dia berkata tentang segala sesuatu, maka ia akan berdusta. Kata tersebut dapat pula berarti menjadi pendek (singkat/khusus), sehingga artinya adalah jika telah menemukan inti pembicaraan, maka dia akan berdusta." Ada yang mengatakan, bahwa ungkapan tersebut diinterpretasikan dengan orang yang memiliki sebagian besar karakter ini dan orang yang berada dalam kondisi seperti itu biasanya akidahnya rusak.
وَعَدَ وَاِذَا (jika berjanji). Yang dimaksud dengan janji dalam hadits ini adalah janji dalam suatu kebaikan, karena janji dalam keburukan harus dilanggar dan tidak harus dipatuhi, bahkan diwajibkan untuk ditentang jika mendatangkan bahaya. Sedangkan dusta yang ada dalam hadits yang diceritakan oleh Ibnu At-Tin dari Malik, ketika ditanya tentang orang yang berdusta, ia mengatakan, “Hal ini tidak berbahaya, tapi yang berbahaya adalah orang yang berbicara tentang sesuatu yang berlawanan dengan realita dengan maksud berdusta.”
Imam Nawawi berkata, "Hadits ini dianggap oleh sebagian ulama sebagai hadits yang bermasalah, karena sifat-sifat ini telah ditemukan dalam diri seorang muslim dan dia tidak dihukumi kafir." Kemudian beliau melanjutkan, "Makna hadits tersebut adalah benar dan tidak ada masalah di dalamnya. Sedangkan apa yang dikatakan oleh para penahqiq, bahwa orang yang memiliki karakter munafiq disamakan dengan orang munafiq, maka saya katakan bahwa pernyataan ini adalah dalam bentuk majaz. Artinya orang yang memiliki karakter tersebut seperti orang munafiq, karena yang dimaksud dengan munafiq di sini adalah Nifaqul Kufri (kekufuran).
Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan munafiq dalam hadits tersebut adalah Nifaqul 'Amal (kemunafiqan dalam perbuatan). Adapun perbedaan dari nifaqul kufri dan ‘amal adalah jika nifaqul kufri terjadi dalam masalah aqidah dan keimanan sementara jika nifaqul ‘amal terjadi dalam selain aqidah dan keimanan contoh dalam hal muamalah.  
Pembatasan tanda-tanda orang munafiq hanya pada tiga sifat tersebut, adalah untuk mengingatkan sifat-sifat yang lain. Karena sumber agama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu: perkataan, perbuatan dan niat. Maka hadits tersebut mengingatkan, bahwa dusta dapat merusak perkataan, khianat dapat merusak perbuatan, dan mengingkari janji dapat merusak niat. Dalam hal ini, mengingkari janji termasuk perbuatan dosa jika mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan jika seseorang telah bertekad untuk menepatinya tetapi ada suatu halangan, maka ia tidak dianggap sebagai orang munafiq. Inilah yang disampaikan oleh Al Ghazali dalam kitab Ihya'.[5]





E.     Pendapat Orientalis
Dalam kajian terhadap Hadits Nabi SAW, setidaknya ditemukan tiga diskursus yang  terkemuka, yaitu:
1.   Bahwa seluruh Hadits yang ada adalah asli atau shahih semua;
2.   Meyakini semua Hadits yang ada adalah palsu semua;  
3.   Tidak meyakini kedua diskursus tersebut, bahkan harus dilakukan verifikasi terhadap Hadits.[6]
Pendapat ketiga adalah pendapat yang diyakini oleh kaum Muslimin, spesifiknya oleh para ulama ahlul Hadits sebagai pihak yang paling berkompeten dan kredibel dalam mengkaji Hadits, dan ini adalah pendapat yang benar, bahkan sangat “rasional” secara epistemologis.
Sedangkan pendapat pertama dan kedua, adalah pendapat yang murni berasal dari orang bodoh dan tidak berilmu. Orientalis cenderung kepada pendapat kedua (wholesale rejection), bahwa semua Hadits adalah palsu, tidak otentik karena bukan berasal dari Nabi . Para Orientalis bahkan lancang menyandarkan pendapat pertama –bahwa semua Hadits adalah shahih – kepada umat Islam yang dituduh mereka menerima semua Hadits.[7]
Selain memiliki banyak tujuan dan agenda, seperti untuk penelitian, faktor agama, kolonialisme dan lainnya,tujuan dan agenda Orientalis yang harus diwaspadai antara lain menebar keraguan terhadap kebenaran misi Nabi Muhammad SAW dan mengklaim bahwa hadits hanyalah bualan kaum Muslimin di tiga kurun pertama. Proyek utama mereka tiada lain sebagai upaya untuk memerangi (muhārabah) as-Sunnah (Hadits yang telah terverifikasi dan diamalkan) agar tidak di implementasikan oleh kaum Muslimin sehingga mereka kehilangan contoh ideal dan teladan hakiki dalam merealisasikan ajaran Islam, akhirnya mereka pun kehilangan pilar utama dalam berislam.
Kajian Orientalis, lebih tepatnya serangan atau tikaman mereka terhadap Hadits terjadi setelah  lama mereka mengkritik dan menyerang al-Qur’an namun kurang membuahkan pengaruh positif di kalangan kaum Muslimin, akhirnya mereka pun mengalihkan sasarannya kepada sumber Islam kedua, yaitu Hadits.[8] Hal ini kemudian bahkan diwariskan oleh pihak kolonial secara turun-temurun sebagai sebuah konspirasi menghancurkan Hadits, termasuk di bumi Indonesia.[9]Inilah yang menjadi landasan dan akar filosofis dari marak dan merebaknya diskursus Orientalis terhadap Hadits Nabi.
Berikut beberapa pendapat Orientalis tentang Hadits Nabi SAW yang menjadi landasan epistemologis mereka dalam mengkajinya, antara lain:
H.A.R.Gibb, Orientalis Misionaris berkata: “Islam secara epistemologis lebih banyak berlandaskan kepada Hadits daripada kepada al-Qur’an. Karena itu, bila Hadits-hadits yang dusta tersebut kita tiadakan (kritik habis), maka tidak akan tersisa ajaran Islam sedikitpun!” Dengan menukil pendapat Orientalis terkemuka Ignaz Goldzhiher, Prof. Dr. Sa’duddin al-Sayyid Sholih mendeskripsikan bahwa ketika mengkaji diskursus Hadits, maka Orientalis memandangnya sebagai kabar berita palsu (maudhū’ah) yang ditulis oleh tangan kotor Sahabat dan Tabi’in. Menurutnya (Goldzhiher), hadits lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.[10]
Secara epistemologis ada tiga hal yang sering dipaparkan dan dibentangkan Orientalis dalam pengkajian mereka terhadap al-Hadis, yaitu:
a.       Aspek kepribadian Nabi Muhammad SAW 
b.      Aspek perawi atau sanad Hadits.
c.       Aspek pengkodifikasian Hadits.
Untuk menyokong epsitemologi tersebut, Orientalis membuat sejumlah metode, antara lain:
1. Mendistorsi teks-teks sejarah.
Misalnya Goldziher yang menuduh Imam Ibnu Syihab al-Zuhri  telah melakukan pemalsuan Hadits, dengan mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis.
2.  Membuat teori-teorirekayasa.
Untuk menguatkan tuduhan yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad , melainkan hanya “buatan” para ulama abad pertama dan kedua. Orientalis Joseph Schacht membuat teori tentang “rekonstruksi” terjadinya sanad Hadits yang kemudian dikenal sebagai  teori Projecting Back (proyeksi ke belakang) yang jelas-jelas tidak ilmiah dan mengada-ada.
3. Ketiga melecehkan ulama Hadits.
Untuk mendukung teorinya, paara Orientalis biasanya gemar dan bahkan getol sekali melecehkan kredibilitas ulama Hadits, bahkan tak segan untuk menuduh mereka sebagai pemalsu Hadits. Di antara ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan adalah Sahabat Abu Hurairah, Imam Ibnu Syihab al-Zuhri  dan Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhori.
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para Orientalis dikarenakan ketiganya menempati posisi yang strategis dalam diskursus ilmu Hadits; Abu Hurairah adalah Sahabat yang tercatat perawi yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad; al-Zuhri  sering disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits; dan al-Bukhori adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik, yaitu Shahih al-Bukhari.[11]

F. Aktualisasi Hadist
Secara bahasa, kata Munafiq berasal dari kata Nafaqa (نَفَقَ), Nifaqon (نِفَاقًا) yang mengandung arti Mengadakan, mengambil bagian dalam, membicarakan sesuatu yang dalam pandangan keagamaan, pengakuannya dari satu orang berbeda-beda dengan yang lainnya. Kata al- Munaafiq (jamak al-Munaafiquuna) berarti orang yang berpura-pura atau ingkar Adapun dalam pengertian syara’, Munafik adalah orang yang lahirnya beriman padahal hatinya kufur.[12]
Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa merupakan jenis penipuan, makar, menampakkan kebaikan dan memendam kebalikannya. Sedangkan secara syari’at terbagi dua:
1.  Nifaq Akbar (Kemunafiqan Besar), yaitu upaya seseorang menampakkan keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir, sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau sebagiannya. Inilah bentuk nifaq yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan yang dicela serta dikafirkan para pelakunya oleh Al-Qur’an. Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya kelak akan menempati neraka paling bawah.
2.   Nifaq Ashghar (Kemunafiqan Kecil), yaitu kemunafiqan dalam perbuatan. Gambarannya, seseorang menampakkan secara teranga-terangan keshalihannya namun menyembunyikan sifat yang berlawanan dengan itu.
Sifat munafiq ialah sifat-sifat hipokrit (seperti sejenis binatang sesumpah) atau musang berbulu domba atau berpura-pura jujur. Seorang yang munafiq ialah seorang yang berpura-pura baik dan jujur. Ia bercakap manis tapi bohong. Ia pandai berbahasa sehingga orang boleh mempercayai percakapannya, ia pandai berjanji tapi mengingkari.
Seorang yang munafiq ialah seorang manusia yang punya seribu macam akal tapi tidak berpendirian, mudah menggadai pegangan hidup, dia ialah orang yang suka berbalah atau bertengkar. Dia mudah berubah-ubah sikap apabila diperlukan untuk kepentingannya. Oleh kerana itu Islam memperjuangkan kejujuran dan amanah umum yang dilandaskan pada  ketaqwaan dan keimanan, karena Allah itu Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala apa yang terpendam di dalam lubuk hati, maka Islam menganggap sifat hipokrit itu sebagai marabahaya yang menghancurkan keutuhan dan keselamatan iman seseorang, juga sebagai dosa yang besar.
Akibat pengaruh kemajuan teknologi dan perkembangan zaman sifat munafiq ini menjadi wabah yang menular di berbagai kalangan, mulai dari pejabat dan birokrasinya (Ulil Amri) sampai ke masyarakat baik yang ada di kota maupun desa seperti yang terjadi pada saat ini. Banyak media yang menayangkan para pejabat, elit politik dan tokoh masayarakat yang menghianati kepercayaan masyarakat/rakyat. Mereka semena-mena terhadap amanah yang dipercayakan kepadanya. Selain itu banyak modus penipuan yang terjadi di berbagai jejaring sosial yang  meresahkan masyarakat. Modus tersebut berupa iming-iming/janji yang menarik dan menggiurkan sehingga banyak masyarakat  yang tertipu.
Semua sifat-sifat munafiq tersebut dapat menimbulkan kesan yang sangat buruk untuk ketenteraman masyarakat, bahkan dapat menimbulkan huru-hara dan perpecahan serta dapat menghilangkan rasa kepercayaan terhadap satu sama lain yang merupakan asas bagi kerukunan sebuah  masyarakat yang padu dan kukuh. Namun bila masih ada manusia serupa ini (munafiq), maka dunia ini tidak akan aman tenteram.[13]
Itulah tanda-tanda orang munafiq yang dibenci oleh Allah. Adapun tempat orang yang munafiq di akhirat nanti ditempatkan dalam neraka yang paling bawah. Sebagaimana Firman Allah SWT:
إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِي الدرْكِ اْلاَسْفَلِ مِنَ النارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًا
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang munafiq itu ditempatkan pada tempat yang paling bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong bagi mereka". (Q.S. An-Nisa':145).
Oleh karena itu, sebagai Muslim kita wajib menjauhi sifat-sifat orang munafiq tersebut, agar hidup kita selamat dunia dan akhirat. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ,
وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَه
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya serta berlaku bodoh, maka tidak ada keperluan bagi Allah untuk meninggalkan makanan dan minumannya." (Riwayat Bukhari dan Abu Dawud). Lafadznya menurut riwayat Abu Dawud.
 Di antara cara untuk menjauhi sifat-sifat munafiq adalah banyak beristighfar dan berdzikir kepada Allah melalui ibadah seperti shalat. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

مَنْ صَلِّى للهِ أرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي : قالَ رسولُ اللهُ صلى اللهُ عليه وسلم:عن أنسٍ بْنِ مالِكٍ رضي اللهُ عنه قالَ جَمَاعَةِ يُدْرِكُ التَكْبِرَةَ الأوْلىَ كَتَبَ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ بَرَاءَةً مِنَ النَاَرِ وَبَرَاءَةً مِنَ النِفَاقٍ                                                                                                 
Artinya: “Dari Anas ibn Malik ra. berkata, Nabi SAW. bersabda: Barang siapa melaksanakan shalat karena Allah SWT. Selama empat puluh hari dengan berjamaah tanpa tertinggal takbiratul ula (takbir pertama), maka Allah akan menulis/mewajibkan baginya dua kebebasan, yaitu bebas dari api neraka dan bebas dari kemunafiqan”. (H. R. At-Turmudzi)














G.    Analisis Hadits
1.    Analisis Sanad
Berdasarkan kajian terhadap sanad hadits di atas, penulis menyimpulkan bahwa sanad dari hadits tersebut besambung mulai dari Imam Bukhari sampai Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dapat dilihat dari sekema dan keterangan perawi  pada halaman 2-6. Oleh karena itu hadits Shahih Bukhari nomor 32 ini Muttashilu As Sanad (sanadnya bersambung). Dengan melihat komentar para ulama’ mengenai para perawi hadits tersebut pada halaman 2-6, menurut penulis bahwa para perawi hadits Bukhari nomor 32 ini mempunyai kualitas Tsiqah (‘Adil dan Dlabith).

2.  Analisis Matan
  Berdasarkan tolok ukur yang telah dirumuskan para ulama (lihat hal.9), hadits Shahih Bukhari nomor 32 sudah menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian serta tidak bertentangan dengan hadist nabi yang lainnya, hal ini diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang menjadi Syawahid (penguat). Matan hadits ini juga tidak bertentangan dengan dasar Islam yang pertama yaitu Al-Quran ( Surah Al Anfaal: 27 dan At Taubah: 77). Selain itu pada lafadz hadts ini tidak ditemukan adanya kejanggalan/cacat, bahkan dari segi linguistik juga tidak ada kejanggalan. Oleh karena itu hadits ini dari sisi matan adalah shahih









BAB III
KESIMPULAN

A.  Kesimpulan Takhrij Hadits
Kesimpulan takhrij hadits meliputi:
a.    Sanad
Sanad dari hadits Shahih Bukhari no.32 adalah Shahihul Isnad karena sanadnya bersambung yaitu mulai dari Imam Bukhari sampai Nabi Muhammad SAW dan para perawi hadits ini mempunyai kualitas Tsiqah (‘Adil dan Dlabith).
b.   Matan
Matan dari hadits Shahih Bukhari no.32 adalah Shahihul matni karena menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian dan tidak bertentangan dengan hadist nabi yang lainnya, hal ini diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang menjadi Syawahid (penguat). Matan hadits ini juga tidak bertentangan dengan dasar Islam yang pertama yaitu Al-Quran. Dalam lafadz hadits tidak ditemukan adanya kejanggalan/cacat, bahkan dari segi linguistik juga tidak ada kejanggalan.
B.   Kesimpulan  Isi Kandungan Hadits
Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat. Nifaq (kemunafiqan) ada dua macam yaitu Nifaqul Kufri ( kemunafiqan dalam akidah dan keimanan) dan Nifaqul ‘Amal ( kemunafiqan dalam perbuatan). Akibat pengaruh kemajuan teknologi dan perkembangan zaman sifat munafiq ini menjadi wabah yang menular di berbagai kalangan, mulai dari pejabat dan birokrasinya (Ulil Amri) sampai ke masyarakat baik yang ada di kota maupun desa.
Bahwa hadits yang sanadnya bersambung sampai pada nabi dan dilihat dari biografi para perawi yang berpredikat tsiqah serta tidak adanya pertentangan dengan dalil alquran dan kekontekstualan hadist, maka hadist ini tergolong pada hadist shahih dan dapat digunakan sebagai hujjah.

DAFTAR PUSTAKA

Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shahih Bukhari , Tahqiq : Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994)
Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar, Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari,Penerjemah, Gazirah Abdi Ummah (Jakarta: Pustaka Azam, 2002)
al-’Utsaimīn, Muhammad ibn Shālih, Rasā‘il  al-Ushūl (Mushthalah al-Hadīts), (Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, t.t.)
Arif, Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008)
Haikal,Ahmad, Bahaya Sifat Munafik , (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004)
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah,2010)
Rasyid, Daud, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Jakarta: Usamah Press, 2003)
Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, (Bandung: Syaamil, 2003)
Suprana, Mundzir, Ilmu Hadits, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002)
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad Al Ghazali dan Yusuf al Qardhawi (Yogyakarta: Teras, 2008),
Hadits Explorer Ensiklopedi Sunnah Nabawi Berdasarkan 9 Kitab Hadits, file:///C:/ProgramFiles/HaditsExplorer/index.html





[1] Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Shahih Bukhari , Tahqiq : Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), hlm. 157
[2] Dikutip dari Hadits Explorer Ensiklopedi Sunnah Nabawi Berdasarkan 9 Kitab Hadits
[3]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad Al Ghazali dan Yusuf al Qardhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 17-18
[4]Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari,Penerjemah, Gazirah Abdi Ummah (Jakarta: Pustaka Azam, 2002),  hlm. 158
[5]Ibid. hlm. 161
[6] Lihat Muhammad ibn Shālih al-’Utsaimīn, Rasā‘il  al-Ushūl (Mushthalah al-Hadīts), (Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, t.t.), hlm. 179
[7] Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 27
[8] Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, (Jakarta: Usamah Press, 2003), hlm. 170.
[9] Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, (Bandung: Syaamil, 2003), hlm. 5-7.
[10]  Arif, Orientalis……., hlm. 29
[11] Ibid, hlm 30
[12] Ahmad Haikal, Bahaya Sifat Munafik , (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004), hlm. 60