TAKHRIJ
HADITS
TENTANG
KHISHALUL MUNAFIQ DALAM KITAB SHAHIH BUKHARI DAN IMPLIKASINYA
Disusun Oleh :
Siti
Husnul Khotimah
MI HASYIM ASY'ARI
JL. KH. AGUS SALIM RT 09 RW O4
WONOANTI GANDUSARI TRENGGALEK JAWA TIMUR INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penjelasan
Nabi Muhammad Saw yang terwujud dalam
bentuk hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al Qur’an. Ia bukan
hanya sebagai penjelas terhadap isi kandungan
Al Qur’an yang masih bersifat universal dan global, tetapi juga
merupakan ungkapan-ungkapan, pesan serta tindakan-tindakan yang lahir dari
seorang Rasul.
Penjelasan
nabi yang berwujud dalam bentuk hadits tersebut telah menjadi kajian serius di kalangan
kaum terpelajar Islam. Bahkan telah menjadi suatu bidang ilmu yang terus
dicari, yang mana sesungguhnya kata-kata
yang berjumlah ratusan ribu itu yang betul-betul bersumber dari manusia pilihan
, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Dalam
perkembangan sejarahnya telah ditemukan pemalsuan hadits yang dilakukan orang Islam maupun non Islam yang ingin
meruntuhkan Islam .
Untuk
itu, dalam rangka menyelamatkan keshahihan hadits ditengah-tengah berkecamuknya
hadits palsu , maka para ulama hadist menyusun kaidah-kaidah penelitian hadits
dengan tujuan utama untuk meneliti keshahihan matan hadits. Sedangkan untuk
kepentingan penelitian matan hadits tersebut disususnlah keshahihan sanad hadits,
sehingga ditemukanlah hadits yang shahih , hasan dan dhoif. Dengan demikian
banyak hadits yang mardud (tertolak) karena cacat pada matan dan sanadnya.
Untuk
itulah, maka penelitian terhadap suatu hadist guna mengetahui tingkat validitasnya
sangat signifikan. Agar suatu hadits dapat diketahui apakah ia dapat dijadikan
hujjah atau tidak dalam menetapkan suatu hokum, langkah yang harus
dilakukan adalah mengadakan penelitian ulang terhadap hadits-hadits terutama
dari segi sanadnya yang ditempuh dengan metode takhrij.
Terkait dengan hal tersebut , penulis merasa tertarik untuk mengangkat hadits "خصال المنا فق"
yang saat ini sebagian besar tanda-tandanya sudah mewabah dalam kehidupan manusia
akibat perkembangan zaman.
Kata al-Munafiq (jamak al-munafiqun) berarti “orang yang
berpura-pura atau ingkar”. Apa yang diucapkannya tidak sesuai dengan apa yang
ada dalam hati serta tindakannya. Ia hanya ingin dilihat sebagai orang yang
mengerjakan kebaikan (amal Islami).Apabila hal ini terjadi dalam masalah aqidah
dan keimanan, maka disebut sebagai Nifaqul Kufri.
Ciri-ciri orang munafiq adalah apabila dipercaya ia berkhianat, apabila
berjanji ia mengingkari, apabila berkata ia berbohong. Tidak heran, karena di
tiap jenjang pendidikan selalu diajarkan tentang apa itu munafiq dan ciri-cirinya
,bagaimana menghindarinya, dsb. dan jawaban untuk pertanyaan ciri-ciri orang munafiq
selalu ditekankan pada 3 hal tersebut. Mungkin tujuannya supaya setiap orang
bisa benar-benar mengerti apa itu munafiq dan bisa menjuhkan diri dari kemunafiqan.
Hanya qalbu yang bisa memberi tahu apakah diri ini termasuk dalam golongan
orang munafiq atau tidak. Namun seringkali manusia cenderung mengedapankan
pikiran dari pada hati, sehingga manusia tidak tahu apakah dirinya orang munafiq
atau tidak dan yang ada hanyalah manusia semakin terjerumus dalam kemunafiqannya.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimanakah
lafadz hadits shahih bukhori No. 32?
2.
Bagaimana
terjemahan dari hadits shahih bukhori No. 32?
3.
Apakah
asbabul wurud dari hadits shoheh bukhori No. 32?
4.
Bagaimanakah
takhrij Hadits tersebut?
5.
Bagaimanakah
syarah (keterangan) dari hadits tersebut?
6.
Bagaimanakah
komentar orientalis mengenai Hadits?
7.
Bagaimanakah
kontek hadits tersebut jika dihubungkan dengan zaman sekarang?
8.
Bagaimanakah
analisis dari hadits tersebut?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui
bunyi Hadits Shahih Bukhori No. 32
2.
Mengetahui
terjemahan dari Hadits Shahih Bukhori No. 32
3.
Mengetahui
asbabul wurud dari Hadits Shahih Bukhori No. 32
4.
Mengetahui
takhrij Hadits tersebut
5.
Memahami
syarah (keterangan) dari hadits tersebut
6.
Mengetahui
komentar orientalis mengenai Hadits
7.
Mengetahui
konteks hadits tersebut jika dihubungkan dengan zaman sekarang
8.
Mengetahui
analisis dari hadits tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits dan Terjemahnya
Hadits Shahih Bukhari No. 32
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ أَبُو
الرَّبِيعِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا نَافِعُ
بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ أَبُو سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ.[1]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman Abu ar Rabi' berkata, telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far berkata, telah menceritakan kepada kami Nafi' bin Malik bin Abu 'Amir Abu Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat". (HR. Bukhari)
B.
Asbabul Wurud Hadits
Setelah
melakukan telaah tentang asbabul wurud hadits, penulis belum menemukan asbabul
wurud tentang hadits di atas. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa
tidak semua hadits dapat ditelusuri asbabul wurudnya, memngingat jumlah
hadits yang sangat banyak dan diriwayatkan oleh para perowi yang berbeda dalam
masa yang beragam pula.
C.
Takhrij Hadits
1. Takhrij
sanad
Keterangan
Perawi:
a.
Abu
Hurairah
1)
Nama
Lengkap : A bdurrahman bin Shakhr Al Azdi
2)
Kalangan
: Sahabat
3)
Kuniyah : Abu Hurairah
4)
Negeri
semasa hidup : Madinah
5)
Wafat : 57 H
6)
Guru : Muhammad saw., Abu Bakar As-siddiq
7)
Murid : Malik Ibn ‘Amir,
Anas bin Malik, Ibnu
Abbas
8)
Komentar
Ulama terhadap perawi
-
Ibnu
Hajar Al-Asqalani : Sahabat
b.
Malik
bin ‘Amir
1) Nama Lengkap : Malik bin ‘Amir bin ‘Amr bin
al-Harits
2) Kalangan :
Tabi’in kalangan tua
3) Kuniyah :
Abu Anas
4) Negeri semasa hidup :
Madinah
5) Wafat : 74 H
6) Guru : Abu Hurairah, Utsman bin
Affan
7) Murid : Nafi’ bin Malik bin Abi ‘Amir
8) Komentar Ulama terhadap perawi
-
An
Nasa’i : Tsiqah
-
Ibnu
Hibban : disebutkan
dalam ats Tsiqaat
-
Ibnu
Sa’d : Tsiqah
-
Ibnu
Hajar Al Asqalani : Tsiqah
c.
Nafi’
bin Malik bin Amir Abu Suhail
1) Nama Lengkap : Nafi’ bin Malik bin Abi ‘Amir
2) Kalangan :
Sahabat
3) Kuniyah :
Abu Suhail
4) Negeri semasa hidup : Madinah
5) Wafat : 140 H
6) Guru :Malik
Ibn ‘Amir, Anas bin Malik, Sa’id bin al Hani
7) Murid : Ismail bin Ja’far, Imam
Malik
8) Komentar Ulama terhadap perawi
- Ahmad bin Hambal : Tsiqah
- Abu Hatim : Tsiqah
- An Nasa’i :
Tsiqah
- Ibnu Hibban : disebutkan dalam ats Tsiqaat
- Ibnu Kharasy : Shadduq
- Ibnu Hajar Al Asqalani :
Tsiqah
- Adz Dzahabi : Tsiqah
d.
Ismail
bin Ja’far
1)
Nama
Lengkap :
Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir al-Ansari
2)
Kalangan
: Tabi’ut Tabi’in
kalangan pertengahan
3)
Kuniyah : Abu Ishaq
4)
Negeri
semasa hidup : Madinah
5)
Wafat : 180 H
6)
Guru : Nafi’ bin Malik, ‘Abdullah bin Dinar
7)
Murid :
Sulaiman bin Da’ud al-‘Atki al-Zahrani
8)
Komentar
Ulama terhadap perawi
- Ahmad bin Hambal : Tsiqah
- Abbas Ad Dauri : Tsiqah lebih tsabit dari Ibnu Abi Hazim, Ad Darawardi, dan Abu Dlamrah
- Muhammad bin Sa’d : Tsiqah
- Abdurrahman bin Yusuf :
Shaduuq
- Ibnul Madini : Tsiqah
-
Ibnu Abi Khaitsamah : Tsiqah, qalilul
khata, dan shaduuq
- Al Khalili : Tsiqah
- Al Hakim : Tsiqah
- Ibnu Hibban : disebutkan dalam ats Tsiqaat
- An Nasa’I : Tsiqah
- Yahya bin Ma’in :
Tsiqah
e.
Sulaiman
Abu ar-Rabi’
1) Nama Lengkap : Sulaiman bin Da’ud al-‘Atki
al-Zahrani
2) Kalangan :
Tabi’ul Atba’ kalangan tua
3) Kuniyah :
Abu Ar Rabi’
4) Negeri semasa hidup :
Baghdad
5) Wafat : 234 H
6) Guru : Ismail bin Ja’far, Imam
Malik
7) Murid : al-Bukhari, Imam Muslim,
Abu Da’ud
8) Komentar Ulama terhadap perawi
- Ibnu Hibban :
disebutkan dalam ats Tsiqaat
- Yahya bin Ma’in : Tsiqah
- Abu Hatim : Tsiqah
- Abu Zur’ah : Tsiqah
- An Nasa’I :
Tsiqah
- Maslamah bin Qasim : Tsiqah
- Ibnu Hajar Al Asqalani :
Tsiqah
- Adz Dzahabi : Al Hafidz
f.
Bukhari
1)
Nama
Lengkap :Muhammad
Ibn Ismail Ibn al-Mughirah Ibn
al-Bukhari
2)
Kuniyah : Abu Abdullah
3)
Tempat
Lahir :
Bukhara,13 Syawal 194 H
4)
Wafat :
256 H
5)
Guru :Abu
ar-Rabi’, Yahya bin Yahya bin Bukayr
6) Murid : Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajaj an Naisaburi, Imam Abu ‘Isa at Tirmizi[2]
7) Komentar Ulama : Daya hafalan yang sangat kuat
a)
Abu Bakar ibnu Khuzaimah telah memberikan
kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan
mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang lebih mengetahui hadits dari Muhammad
bin Isma'il."
b)
'Abdan bin 'Utsman Al Marwazi berkata; 'aku tidak pernah melihat
dengan kedua mataku, seorang pemuda yang
lebih mendapat bashirah dari pemuda ini.' Saat
itu telunjuknya diarahkan kepada
Bukhari
c)
Qutaibah
bin Sa'id menuturkan; 'aku duduk bermajelis dengan para ahli fikih,
orang-orang zuhud dan ahli ibadah,
tetapi aku tidak pernah melihat semenjak aku dapat mencerna ilmu orang yang seperti Muhammad
bin Isma'il. Dia adalah sosok pada
zamannya seperti 'Umar di kalangan para
sahabat. Dan dia berkata; ' kalau seandainya
Muhammad bin Isma'il adalah seorang sahabat maka dia merupakan ayat.
d)
Ahmad bin Hambal berkata; Khurasan tidak
pernah melahirkan orang yang seperti
Muhammad bin Isma'il.
e)
Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair
menuturkan; kami tidak pernah melihat
orang yang seperti Muhammad bin Ism'ail
f)
Bundar berkata; belum ada seorang lelaki yang
memasuki Bashrah lebih mengetahui
terhadap hadits dari saudara kami Abu Abdillah.
g)
Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum
pernah melahirkan seorang putra yang
hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il,
juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi
kealimannya."
h)
Muslim (pengarang kitab Sahih) berkata ketika
Bukhari menyingkap satu cacat hadits
yang tidak di ketahuinya; "Biarkan saya mencium kedua kaki anda, wahai gurunya para guru dan
pemimpin para ahli hadits, dan dokter
hadits dalam masalah ilat hadits."
i)
al-Hafiz Ibn
Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada
Bukhari masih terbuka bagi generasi
sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan lautan tak
bertepi."
Berdasarkan kajian terhadap sanad hadits di atas,
penulis menyimpulkan bahwa hadits tentang ciri-ciri orang munafiq yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu
Hurairah berkualitas shahih. Alasannya adalah karena jalur periwayatan hadits
ini bersambung dari awal sanad sampai Rasulullah dan didukung oleh para perawi yang memiliki
kualitas tsiqah.
2.Takhrij matan
Para
ulama sudah merumuskan beberapa tolok ukur yang bisa digunakan dalam melakukan
kritik terhadap matan hadits. Dalam hal ini, penulis menggunakan tolok ukur
kritik matan yang dikemukakan oleh
Shalahuddin al Adlabi,[3]
yakni:
a.
Susunan
pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian
b.
Tidak
bertentangan dengan petunjuk Al Qur’an
c.
Tidak
bertentangan dengan hadits dan sirah Nabi
d.
Tidak
bertentangan dengan akal sehat
Berdasarkan tolok ukur
pertama dan ketiga hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah di atas sudah
menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian serta tidak bertentangan dengan hadist
nabi yang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hadits yang menjadi Syawahid
(penguat) antara lain :
|
Adapun
tolok ukur kedua, matan hadits ini menjelaskan tentang ciri-ciri orang munafiq
tidak bertentangan dengan dasar Islam yang pertama yaitu Al-Quran. Salah satu
ciri orang munafiq adalah berkhianat bila diberi kepercayaan sebagaimana firman
Allah SWT dalam Surat Al Anfaal ayat 27:
$pkr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä w (#qçRqèrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèrBur öNä3ÏG»oY»tBr&
öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
(QS. Al Anfaal :27)
Allah SWT berfirman dalam surat At
Taubah ayat 77:
öNåkz:s)ôãr'sù $]%$xÿÏR Îû öNÍkÍ5qè=è% 4n<Î) ÏQöqt ¼çmtRöqs)ù=t !$yJÎ/ (#qàÿn=÷zr& ©!$# $tB
çnrßtãur $yJÎ/ur (#qçR$2 cqç/Éõ3t ÇÐÐÈ
Artinya :
“Maka Allah menimbulkan kemunafiqan
pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah
memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga
karena mereka selalu berdusta”. (QS. At Taubah :77)
Ayat-ayat
Al Qur’an di atas memperjelas isi kandungan hadist tentang ciri-ciri orang munafiq
dan secara logika isi kandungan hadits tersebut tidak bertentangan dengan ayat Al
Qur’an bahkan pada lafadz hadits tersebut tidak ditemukan adanya
kejanggalan/cacat. Serta dari segi linguistik juga tidak ada kejanggalan. Oleh
karena itu hadits ini dari sisi matan adalah shahih.
D.
Penjelasan
Hadits
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ (tanda-tanda
orang munafiq ada tiga) Arti dari kata آيَةُ
adalah عَلَامَةٌ(tanda).
Penggunaan bentuk tunggal dari kata اَ يَاتٌ adalah
untuk menunjukkan jenis, atau karena tanda-tanda orang munafiq tersebut hanya
akan terwujud jika terkumpul tiga karakter tersebut. Alasan pertama adalah
alasan yang disetujui oleh Imam Bukhari. Oleh karena itu, dalam bab lain beliau
menggunakan bentuk jama' (plural) seperti yang diriwayatkan oleh Abu Awanah
dengan lafazh, عَلَامَاتُ الْمُنَافِقِ (tanda-tanda orang munafiq).
[4]
Sifat munafiq secara umum adalah sebagai
peringatan bagi manusia untuk tidak melakukan sifat ini. Pendapat ini didukung
oleh Al Khaththabi. Disebutkan juga bahwa kemungkinan yang disifati dengan
sifat tersebut adalah orang yang telah terbiasa melakukan hal tersebut,
sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Dia berkata, "Pernyataan
tersebut dikuatkan dengan disebutkannya kata "اِذَا" (jika), karena kata tersebut menunjukkan
pengulangan pekerjaan.
Yang lebih utama adalah apa yang dikatakan Al
Karmani,"Penghapusan obyek dari kata "حَدَثَ"
(mengatakan) mengindikasikan arti umum. Artinya, jika dia berkata tentang
segala sesuatu, maka ia akan berdusta. Kata tersebut dapat pula berarti menjadi
pendek (singkat/khusus), sehingga artinya adalah jika telah menemukan inti
pembicaraan, maka dia akan berdusta." Ada yang mengatakan, bahwa ungkapan tersebut
diinterpretasikan dengan orang yang memiliki sebagian besar karakter ini dan
orang yang berada dalam kondisi seperti itu biasanya akidahnya rusak.
وَعَدَ وَاِذَا (jika berjanji). Yang dimaksud dengan
janji dalam hadits ini adalah janji dalam suatu kebaikan, karena janji dalam
keburukan harus dilanggar dan tidak harus dipatuhi, bahkan diwajibkan untuk ditentang
jika mendatangkan bahaya. Sedangkan dusta yang ada dalam hadits yang
diceritakan oleh Ibnu At-Tin dari Malik, ketika ditanya tentang orang yang
berdusta, ia mengatakan, “Hal ini tidak berbahaya, tapi yang berbahaya adalah orang
yang berbicara tentang sesuatu yang berlawanan dengan realita dengan maksud
berdusta.”
Imam Nawawi berkata, "Hadits ini dianggap
oleh sebagian ulama sebagai hadits yang bermasalah, karena sifat-sifat ini
telah ditemukan dalam diri seorang muslim dan dia tidak dihukumi kafir."
Kemudian beliau melanjutkan, "Makna hadits tersebut adalah benar dan tidak
ada masalah di dalamnya. Sedangkan apa yang dikatakan oleh para penahqiq, bahwa
orang yang memiliki karakter munafiq disamakan dengan orang munafiq, maka saya
katakan bahwa pernyataan ini adalah dalam bentuk majaz. Artinya orang yang
memiliki karakter tersebut seperti orang munafiq, karena yang dimaksud dengan munafiq
di sini adalah Nifaqul Kufri (kekufuran).
Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dimaksud
dengan munafiq dalam hadits tersebut adalah Nifaqul 'Amal (kemunafiqan
dalam perbuatan). Adapun perbedaan dari nifaqul kufri dan ‘amal adalah jika
nifaqul kufri terjadi dalam masalah aqidah dan keimanan sementara jika nifaqul
‘amal terjadi dalam selain aqidah dan keimanan contoh dalam hal muamalah.
Pembatasan tanda-tanda orang munafiq hanya pada
tiga sifat tersebut, adalah untuk mengingatkan sifat-sifat yang lain. Karena
sumber agama hanya terbatas pada tiga hal, yaitu: perkataan, perbuatan dan
niat. Maka hadits tersebut mengingatkan, bahwa dusta dapat merusak perkataan,
khianat dapat merusak perbuatan, dan mengingkari janji dapat merusak niat.
Dalam hal ini, mengingkari janji termasuk perbuatan dosa jika mengandung unsur
kesengajaan. Sedangkan jika seseorang telah bertekad untuk menepatinya tetapi
ada suatu halangan, maka ia tidak dianggap sebagai orang munafiq. Inilah yang
disampaikan oleh Al Ghazali dalam kitab Ihya'.[5]
E.
Pendapat
Orientalis
Dalam kajian
terhadap Hadits Nabi SAW, setidaknya
ditemukan tiga diskursus yang terkemuka, yaitu:
1.
Bahwa seluruh Hadits yang ada adalah asli atau shahih
semua;
2.
Meyakini semua Hadits yang ada adalah palsu
semua;
3.
Tidak meyakini kedua diskursus tersebut, bahkan
harus dilakukan verifikasi terhadap Hadits.[6]
Pendapat ketiga
adalah pendapat yang diyakini oleh kaum Muslimin, spesifiknya oleh para ulama
ahlul Hadits sebagai pihak yang paling berkompeten dan kredibel dalam mengkaji
Hadits, dan ini adalah pendapat yang benar, bahkan sangat “rasional” secara
epistemologis.
Sedangkan pendapat
pertama dan kedua, adalah pendapat yang murni berasal dari orang bodoh dan
tidak berilmu. Orientalis cenderung kepada pendapat kedua (wholesale
rejection), bahwa semua Hadits adalah palsu, tidak otentik karena bukan
berasal dari Nabi . Para Orientalis bahkan lancang menyandarkan pendapat
pertama –bahwa semua Hadits adalah shahih – kepada umat Islam yang
dituduh mereka menerima semua Hadits.[7]
Selain memiliki
banyak tujuan dan agenda, seperti untuk penelitian, faktor agama, kolonialisme
dan lainnya,tujuan dan agenda Orientalis yang harus diwaspadai antara lain
menebar keraguan terhadap kebenaran misi Nabi Muhammad SAW dan mengklaim bahwa hadits hanyalah
bualan kaum Muslimin di tiga kurun pertama. Proyek utama mereka tiada lain
sebagai upaya untuk memerangi (muhārabah) as-Sunnah (Hadits yang telah
terverifikasi dan diamalkan) agar tidak di implementasikan oleh kaum Muslimin
sehingga mereka kehilangan contoh ideal dan teladan hakiki dalam merealisasikan
ajaran Islam, akhirnya mereka pun kehilangan pilar utama dalam berislam.
Kajian
Orientalis, lebih tepatnya serangan atau tikaman mereka terhadap Hadits terjadi
setelah lama mereka mengkritik dan menyerang al-Qur’an namun kurang
membuahkan pengaruh positif di kalangan kaum Muslimin, akhirnya mereka pun
mengalihkan sasarannya kepada sumber Islam kedua, yaitu Hadits.[8]
Hal ini kemudian bahkan diwariskan oleh pihak kolonial secara turun-temurun
sebagai sebuah konspirasi menghancurkan Hadits, termasuk di bumi Indonesia.[9]Inilah
yang menjadi landasan dan akar filosofis dari marak dan merebaknya diskursus
Orientalis terhadap Hadits Nabi.
Berikut
beberapa pendapat Orientalis tentang Hadits Nabi SAW yang menjadi landasan epistemologis mereka dalam
mengkajinya, antara lain:
H.A.R.Gibb, Orientalis Misionaris berkata: “Islam
secara epistemologis lebih banyak berlandaskan kepada Hadits daripada kepada
al-Qur’an. Karena itu, bila Hadits-hadits yang dusta tersebut kita tiadakan
(kritik habis), maka tidak akan tersisa ajaran Islam sedikitpun!” Dengan
menukil pendapat Orientalis terkemuka Ignaz Goldzhiher, Prof. Dr. Sa’duddin
al-Sayyid Sholih mendeskripsikan bahwa ketika mengkaji diskursus Hadits, maka
Orientalis memandangnya sebagai kabar berita palsu (maudhū’ah) yang
ditulis oleh tangan kotor Sahabat dan Tabi’in. Menurutnya (Goldzhiher), hadits
lebih merupakan refleksi interaksi dan konflik pelbagai aliran dan
kecenderungan yang muncul kemudian di kalangan masyarakat Muslim pada periode
kematangannya, ketimbang sebagai dokumen sejarah awal perkembangan Islam.[10]
Secara
epistemologis ada tiga hal yang sering dipaparkan dan dibentangkan Orientalis
dalam pengkajian mereka terhadap al-Hadis, yaitu:
a.
Aspek kepribadian Nabi Muhammad SAW
b.
Aspek perawi atau sanad Hadits.
c.
Aspek pengkodifikasian Hadits.
Untuk menyokong
epsitemologi tersebut, Orientalis membuat sejumlah metode, antara lain:
1. Mendistorsi
teks-teks sejarah.
Misalnya
Goldziher yang menuduh Imam Ibnu Syihab al-Zuhri telah melakukan
pemalsuan Hadits, dengan mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibnu
Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa al-Zuhri memang mengakui
dirinya sebagai pemalsu Hadis.
2. Membuat teori-teorirekayasa.
Untuk
menguatkan tuduhan yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan
sesuatu yang otentik dari Nabi Muhammad , melainkan hanya “buatan” para
ulama abad pertama dan kedua. Orientalis Joseph Schacht membuat teori tentang
“rekonstruksi” terjadinya sanad Hadits yang kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi
ke belakang) yang jelas-jelas tidak ilmiah dan mengada-ada.
3. Ketiga
melecehkan ulama Hadits.
Untuk
mendukung teorinya, paara Orientalis biasanya gemar dan bahkan getol sekali
melecehkan kredibilitas ulama Hadits, bahkan tak segan untuk menuduh mereka
sebagai pemalsu Hadits. Di antara ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran
pelecehan adalah Sahabat Abu Hurairah, Imam Ibnu Syihab al-Zuhri dan Imam
Muhammad bin Isma’il al-Bukhori.
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok
serangan para Orientalis dikarenakan ketiganya menempati posisi yang strategis
dalam diskursus ilmu Hadits; Abu Hurairah adalah Sahabat yang tercatat perawi
yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad; al-Zuhri
sering disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits; dan
al-Bukhori adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik, yaitu Shahih
al-Bukhari.[11]
F. Aktualisasi Hadist
Secara bahasa, kata Munafiq berasal dari kata Nafaqa
(نَفَقَ),
Nifaqon (نِفَاقًا)
yang mengandung arti Mengadakan, mengambil bagian dalam, membicarakan sesuatu
yang dalam pandangan keagamaan, pengakuannya dari satu orang berbeda-beda
dengan yang lainnya. Kata al-
Munaafiq (jamak al-Munaafiquuna) berarti orang yang berpura-pura
atau ingkar Adapun
dalam pengertian syara’, Munafik adalah orang yang lahirnya beriman padahal
hatinya kufur.[12]
Ibn Rajab berkata: “Nifaq secara bahasa merupakan jenis penipuan, makar,
menampakkan kebaikan dan memendam kebalikannya. Sedangkan secara syari’at terbagi dua:
1. Nifaq Akbar (Kemunafiqan Besar), yaitu upaya seseorang menampakkan
keimanan kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, Rasul dan hari akhir,
sebaliknya memendam lawan dari itu semua atau sebagiannya. Inilah bentuk nifaq yang
terjadi pada masa Rasulullah SAW dan yang dicela serta dikafirkan para
pelakunya oleh Al-Qur’an. Rasulullah SAW menginformasikan bahwa pelakunya
kelak akan menempati neraka paling bawah.
2. Nifaq Ashghar (Kemunafiqan
Kecil), yaitu kemunafiqan dalam perbuatan.
Gambarannya, seseorang menampakkan secara teranga-terangan keshalihannya namun
menyembunyikan sifat yang berlawanan dengan itu.
Sifat munafiq ialah
sifat-sifat hipokrit (seperti sejenis binatang sesumpah) atau musang berbulu domba
atau berpura-pura jujur. Seorang yang munafiq ialah seorang yang berpura-pura
baik dan jujur. Ia bercakap manis tapi bohong. Ia pandai berbahasa sehingga
orang boleh mempercayai percakapannya, ia pandai berjanji tapi mengingkari.
Seorang yang munafiq ialah
seorang manusia yang punya seribu macam akal tapi tidak berpendirian, mudah
menggadai pegangan hidup, dia ialah orang yang suka berbalah atau bertengkar.
Dia mudah berubah-ubah sikap apabila diperlukan untuk kepentingannya. Oleh
kerana itu Islam memperjuangkan kejujuran dan amanah umum yang dilandaskan pada
ketaqwaan dan keimanan, karena Allah itu
Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala apa yang terpendam di dalam lubuk hati,
maka Islam menganggap sifat hipokrit itu sebagai marabahaya yang menghancurkan keutuhan
dan keselamatan iman seseorang, juga sebagai dosa yang besar.
Akibat pengaruh kemajuan teknologi
dan perkembangan zaman sifat munafiq ini menjadi wabah yang menular di berbagai
kalangan, mulai dari pejabat dan birokrasinya (Ulil Amri) sampai ke masyarakat
baik yang ada di kota maupun desa seperti yang terjadi pada saat ini. Banyak
media yang menayangkan para pejabat, elit politik dan tokoh masayarakat yang
menghianati kepercayaan masyarakat/rakyat. Mereka semena-mena terhadap amanah
yang dipercayakan kepadanya. Selain itu banyak modus penipuan yang terjadi di
berbagai jejaring sosial yang meresahkan
masyarakat. Modus tersebut berupa iming-iming/janji yang menarik dan
menggiurkan sehingga banyak masyarakat
yang tertipu.
Semua sifat-sifat munafiq
tersebut dapat menimbulkan kesan yang sangat buruk untuk ketenteraman
masyarakat, bahkan dapat menimbulkan huru-hara dan perpecahan serta dapat
menghilangkan rasa kepercayaan terhadap satu sama lain yang merupakan asas bagi
kerukunan sebuah masyarakat yang padu
dan kukuh. Namun bila masih ada manusia serupa ini (munafiq), maka dunia ini
tidak akan aman tenteram.[13]
Itulah tanda-tanda orang munafiq yang dibenci oleh Allah.
Adapun tempat orang yang munafiq di akhirat nanti ditempatkan dalam neraka yang
paling bawah. Sebagaimana Firman Allah SWT:
إِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ فِي الدرْكِ
اْلاَسْفَلِ مِنَ النارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًا
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang munafiq itu ditempatkan pada tempat yang paling
bawah dari neraka, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong
bagi mereka". (Q.S. An-Nisa':145).
Oleh karena
itu, sebagai Muslim kita wajib menjauhi
sifat-sifat orang munafiq tersebut, agar hidup kita selamat dunia dan akhirat.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW berikut ini :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم ( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ اَلزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ,
وَالْجَهْلَ, فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَه
Artinya: Dari Abu Hurairah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya serta
berlaku bodoh, maka tidak ada keperluan bagi Allah untuk meninggalkan makanan
dan minumannya." (Riwayat Bukhari dan Abu Dawud). Lafadznya menurut
riwayat Abu Dawud.
Di antara cara untuk
menjauhi sifat-sifat munafiq adalah banyak beristighfar dan berdzikir kepada
Allah melalui ibadah seperti shalat. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
مَنْ صَلِّى للهِ أرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي : قالَ رسولُ اللهُ صلى اللهُ عليه وسلم:عن أنسٍ بْنِ مالِكٍ رضي اللهُ عنه قالَ جَمَاعَةِ يُدْرِكُ التَكْبِرَةَ
الأوْلىَ كَتَبَ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ بَرَاءَةً مِنَ النَاَرِ وَبَرَاءَةً مِنَ
النِفَاقٍ
Artinya: “Dari Anas ibn Malik ra. berkata, Nabi SAW. bersabda: Barang siapa melaksanakan shalat karena Allah SWT. Selama empat puluh hari dengan berjamaah tanpa tertinggal takbiratul ula (takbir pertama), maka Allah akan menulis/mewajibkan baginya dua kebebasan, yaitu bebas dari api neraka dan bebas dari kemunafiqan”. (H. R. At-Turmudzi)
Artinya: “Dari Anas ibn Malik ra. berkata, Nabi SAW. bersabda: Barang siapa melaksanakan shalat karena Allah SWT. Selama empat puluh hari dengan berjamaah tanpa tertinggal takbiratul ula (takbir pertama), maka Allah akan menulis/mewajibkan baginya dua kebebasan, yaitu bebas dari api neraka dan bebas dari kemunafiqan”. (H. R. At-Turmudzi)
G.
Analisis Hadits
1. Analisis Sanad
Berdasarkan
kajian terhadap sanad hadits di atas, penulis menyimpulkan bahwa sanad dari hadits tersebut besambung mulai dari Imam Bukhari
sampai Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut dapat dilihat dari sekema dan keterangan
perawi pada halaman 2-6. Oleh karena itu
hadits Shahih Bukhari nomor 32 ini Muttashilu As Sanad (sanadnya
bersambung). Dengan melihat komentar para ulama’ mengenai para perawi hadits
tersebut pada halaman 2-6, menurut penulis bahwa para perawi hadits Bukhari
nomor 32 ini mempunyai kualitas Tsiqah (‘Adil dan Dlabith).
2. Analisis Matan
Berdasarkan tolok ukur yang telah dirumuskan para ulama (lihat
hal.9), hadits
Shahih Bukhari nomor 32 sudah menunjukkan ciri-ciri
sabda kenabian serta tidak bertentangan dengan hadist nabi yang lainnya, hal
ini diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang menjadi Syawahid
(penguat). Matan hadits ini juga tidak bertentangan dengan dasar Islam yang
pertama yaitu Al-Quran ( Surah Al Anfaal: 27 dan At Taubah: 77). Selain itu pada
lafadz hadts ini tidak ditemukan adanya kejanggalan/cacat, bahkan
dari segi linguistik juga tidak ada kejanggalan. Oleh karena itu hadits ini
dari sisi matan adalah shahih
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Takhrij Hadits
Kesimpulan takhrij hadits meliputi:
a. Sanad
Sanad dari hadits Shahih Bukhari
no.32 adalah Shahihul Isnad karena sanadnya bersambung yaitu mulai dari Imam
Bukhari sampai Nabi Muhammad SAW dan para perawi hadits ini mempunyai kualitas Tsiqah
(‘Adil dan Dlabith).
b. Matan
Matan dari hadits Shahih
Bukhari no.32 adalah Shahihul
matni karena menunjukkan ciri-ciri sabda
kenabian dan tidak bertentangan dengan hadist nabi yang lainnya, hal ini
diperkuat dengan adanya beberapa hadits yang menjadi Syawahid (penguat).
Matan hadits ini juga tidak bertentangan dengan dasar Islam yang pertama yaitu
Al-Quran. Dalam lafadz hadits tidak
ditemukan adanya kejanggalan/cacat, bahkan dari segi linguistik juga tidak ada
kejanggalan.
B.
Kesimpulan
Isi Kandungan Hadits
Tanda-tanda
munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika
diberi amanat dia khianat. Nifaq (kemunafiqan) ada dua macam yaitu Nifaqul
Kufri ( kemunafiqan dalam akidah dan keimanan) dan Nifaqul ‘Amal (
kemunafiqan dalam perbuatan). Akibat pengaruh kemajuan teknologi dan perkembangan zaman sifat munafiq
ini menjadi wabah yang menular di berbagai kalangan, mulai dari pejabat dan
birokrasinya (Ulil Amri) sampai ke masyarakat baik yang ada di kota
maupun desa.
Bahwa hadits yang
sanadnya bersambung sampai pada nabi dan dilihat
dari biografi para perawi yang berpredikat tsiqah serta tidak adanya
pertentangan dengan dalil alquran dan kekontekstualan hadist, maka hadist ini
tergolong pada hadist shahih dan dapat digunakan sebagai hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il,
Shahih Bukhari , Tahqiq : Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, (Beirut :
Dar al-Fikr, 1994)
Al Asqalani, Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar, Fathul
Baari Syarah: Shahih Al
Bukhari,Penerjemah, Gazirah Abdi Ummah (Jakarta: Pustaka Azam, 2002)
al-’Utsaimīn, Muhammad ibn Shālih, Rasā‘il fī al-Ushūl
(Mushthalah al-Hadīts), (Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, t.t.)
Arif,
Syamsuddin, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema
Insani, 2008)
Haikal,Ahmad, Bahaya Sifat
Munafik , (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004)
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadits, (Jakarta:
Amzah,2010)
Rasyid, Daud, Pembaharuan Islam dan
Orientalisme dalam Sorotan, (Jakarta: Usamah Press, 2003)
Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari
Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, (Bandung: Syaamil, 2003)
Suprana, Mundzir, Ilmu Hadits, (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,2002)
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits
Nabi: Perspektif Muhammad Al Ghazali dan Yusuf al Qardhawi (Yogyakarta:
Teras, 2008),
Hadits Explorer Ensiklopedi Sunnah Nabawi Berdasarkan 9 Kitab
Hadits, file:///C:/ProgramFiles/HaditsExplorer/index.html
http://abubasyer.blogspot.com/2012/10/sifat-sifat-munafiq-menurut-hadis-nabi.html diakses pada 1-Nopember-2014
[1] Abu Abdillah
Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Shahih Bukhari , Tahqiq : Syaikh Abdul
Aziz Abdullah bin Baz, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), hlm. 157
[2] Dikutip dari
Hadits Explorer Ensiklopedi Sunnah Nabawi Berdasarkan 9 Kitab Hadits
[3]Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad Al
Ghazali dan Yusuf al Qardhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 17-18
[4]Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah: Shahih Al Bukhari,Penerjemah, Gazirah Abdi Ummah (Jakarta: Pustaka Azam, 2002), hlm. 158
[6] Lihat Muhammad ibn Shālih al-’Utsaimīn, Rasā‘il fī al-Ushūl
(Mushthalah al-Hadīts), (Iskandariyah: Dār al-Bashīrah, t.t.), hlm. 179
[7]
Syamsuddin Arif, Orientalis &
Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 27
[8]
Daud Rasyid, Pembaharuan Islam dan
Orientalisme dalam Sorotan, (Jakarta: Usamah Press, 2003), hlm. 170.
[9]
Rasyid, Sunnah di Bawah Ancaman: Dari
Snouck Hurgronje hingga Harun Nasution, (Bandung: Syaamil, 2003), hlm. 5-7.
[10]
Arif, Orientalis……., hlm. 29
[11] Ibid,
hlm 30
[12] Ahmad Haikal, Bahaya Sifat Munafik , (Jakarta: Al-Mawardi
Prima, 2004), hlm. 60
[13]http://abubasyer.blogspot.com/2014/10/sifat-sifat-munafik-menurut-hadis-nabi.html. Diakses pada 1
Nopember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar